PKB5

PERHELATAN Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai ajang apresiasi aneka ragam sajian seni pertunjukan budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam tahun ini telah memasuki episode ke-36 tahun. Ajang PKB tahun ini diselenggarakan mulai 14 Juni – 12 Juli 2014 di UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar dengan mengusung tema Kertamasa:Dinamika Kehidupan Masyarakat Agraris Menuju Kesejahateraan Semesta.

Pelaksanaan PKB tahun ini dianggap termasuk sangat fenomenal sekaligus sebagai media alternatif menuju keharmonisan jiwa dalam perbedaan dengan semangat keiklasan dan ketulusan untuk menciptakan kedamaian bagi kepentingan kemaslahatan publik. Kenapa? Karena pelaksanaan PKB tahun ini berada di tengah gejolak demokrasi berupa pesta politik dalam pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif sekaligus presiden dan wakil presiden, sebagai penentu arah kebijakan dari pembangunan bangsa dan negara di masa datang.

Di samping itu, tema PKB tahun ini cukup relevan dan sangat sejalan dengan upaya menjaga keberlangsungan denyut nadi kehidupan sistem pertanian di Bali, Subak, yang memang telah sukses menyandang gelar mahaagung sebagai warisan budaya dunia, yang secara resmi dikukuhkan oleh Unesco, Senin 24 September 2012 silam. Kenapa? Mengingat, lahan pertanian yang setiap tahunnya semakin terus menyusut karena dicaplok para investor.

Bahkan, para petani yang menjadi benteng utama dan terdepan dalam upaya pelestarian dan pengembangan Subak semakin kehilangan regenerasinya. Karena profesi petani tak mampu menjawab tantangan masa depan, yakni kehidupan yang layak dan lebih baik. Lantaran pemerintah tidak pernah serius dalam menjaga eksistensi subak secara berkelanjutan.

Tak pelak, tugas pihak penyelenggara PKB tahun ini pun sudah tentunya harus kerja ekstra yang lebih keras lagi, terutama dalam menyusun agenda pertunjukan seni budaya berbasis kearifan lokal khas Bali sebagai program wajib maupun pilihan bagi upaya merajut elektablitas budaya global secara mendunia.

Kota Berwawasan Budaya?

Hal ini, mengingat bahwa perhelatan PKB selama ini bahkan senantiasa masih tersandera percikan masalah klasik yang telah menjadi rahasia publik selama bertahun-tahun dan kerap dipandang  sebelah mata. Belum lagi, harus menghadapi masalah sosial politik terkait pemilu baik legislatif maupun presiden dan wakil presiden 2014.

Adapun percikan masalah klasik itu di antaranya, pemaksaan kehendak secara masif dan sistemik untuk mendapatkan akses tersendiri dalam mengeksplorasi keagungan nilai adiluhung seni budaya bangsa dengan dalih memenuhi kebutuhan ritual keagamaan, pengaplingan trotoar dan jalan raya yang menjadi aksesbilitas transportasi publik, dan tindakan keindahan perilaku cacat moral lainnya.

Fenomena etik dan etika dari praktik mafia premanisme budaya (koruptor) jalanan yang tidak beradab dan tidak bermartabat dalam kehidupan berbudaya di tengah desa pakraman inilah yang senantiasa masih menjadi pekerjaan tersendiri setiap perhelatan PKB selama ini.

Maklum, beragam upaya yang telah dilakukan selama ini selalu menemui kegagalan alias jalan buntu. Sehingga, tak ayal pemerintah pun dicap telah melegalkan tindakan premanisme yang melanggar hak asasi manusia secara struktural dan berencana, serta berkelanjutan.

Ironisnya, bahkan dengan berlindung dibalik lembaga suci desa pakraman yang dipaksa menganut ideologi otonomi kebablasan, para bromocorah atau premanisme ini secara sistemik melegalkan praktik pemaksaan kehendak atas dasar semangat akuisme, egoisme, feodalisme, ditaktorisme berbasis kapitalisme ekonomi global demi memuaskan nafsu duniawi bersifat pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Apalagi, secara sangat mengejutkan belum lama ini praktik pemaksaan kehendak itu justru dilakukan di depan publik terhadap lembaga pendidikan tinggi (ISI Denpasar, red) yang bertujuan mulia dalam mencetak para kaum intelektual cerdas dan kritis dengan perilaku kenegarawanan yang dimuliakan dan dihormati secara mendunia. Atas alasan atau dalil apapun hal tersebut semestinya tidak boleh sampai terjadi, jika saja perangkat dari alat negara mampu bekerja secara profesional dan bertanggungjawab.

Mengingat, sudah menjadi rahasia umum bahwa secara ketentuan hukum negara fasilitas publik dinyatakan tidak boleh dikuasai ataupun digunakan bagi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Ini sama halnya negara telah dilecehkan karena terkoptasi oleh perilaku terosisme dari praktik relasi kuasa atas kekuasaan yang kebablasan, cacat moral dan tidak beradab serta tidak bermartabat.

Implikasinya, perhelatan PKB yang menyedot anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Bali hingga mencapai angka miliaran rupiah lebih ini terkesan seakan mubazir serta kehilangan ruh dan taksunya dalam menjaga keagungan kearifan budaya lokal khas Bali.

Celakanya, runtuhnya kemegahan apresiasi budaya yang telah dikonstruksi oleh mendiang Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ini justru disebabkan oleh pemikiran dan tindakan masyarakat Bali itu sendiri, terutama mereka yang berada atau berdomisili dan bertempat tinggal di lingkungan desa pakraman sekitar pelaksanaan PKB, bukan karena dampak negatif pengaruh global dengan teknologi serba canggihnya. Ironis bukan?

Tak ayal, strategi program mahaagung dan mahamulia dari sistem relasi kuasa kepemimpinan sebagai Kota Berwawasan Budaya dengan slogan Kotaku Rumahku yang diwacanakan secara politis pun terkesan dilecehkan dan dicueki. Ini karena secara wacana sikap peduli dan cinta Bali dengan tatanan nilai aduluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam realitas sosialnya jauh dari kenyataan dan harapan bersama.

Bahkan, terkesan justru sebaliknya, bertolak belakang dan tidak satya wacana atau ingkar janji, karena semangat Kota Berwawasan Budaya rupanya tidak mampu menciptakan perilaku yang santun dan ramah serta taat asas dan taat hukum dalam memuliakan nilai kemanusiaan demi kemaslahatan publik, kesejahteraan yang lebih baik dan berkeadilan secara beradab dan bermartabat.

Dalam konteks ini, artinya para elite politik penguasa pemangku kebijakan terkesan telah dicap kehilangan akal warasnya dalam menjalankan tugas pengabdiannya sebagai pengayom dan pelindung kepentingan publik demi kesejahteraan dan keadilan yang lebih bermartabat dan berkeadaban.

Jika perhelatan PKB masih dianggap merupakan ajang apresiasi budaya yang telah mendunia sebagai puncak budaya dan kreativitas masyarakat Bali termasuk masyarakat nusantara semestinya semua pihak yang terkait dalam hal ini secara menyeluruh baik pemerintah maupun masyarakat harus berbenah diri dengan kerja nyata. Demi  upaya menciptakan perdamaian sekaligus memajukan persahabatan dan kemitraan bangsa Indonesia dan bangsa lain di dunia.

Dalam konteks ini, semua pihak diingatkan supaya beragam pujian sarat makna dan pesan moral yang senantiasa dilontarkan para elite penguasa pemangku kebijakan mulai dari tingkat daerah (gubernur) maupun pusat (presiden) dalam setiap sambutannya, tepatnya saat acara serimonial dari pelepasan pawai sekaligus pembukaan PKB setiap tahunnya tidak hanya terkesan sebagai upaya pencitraan publik secara politis semata, melainkan sebagai kenyataan dalam realitas sosialnya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat di era globalisasi kekinian.

Lantas, mampukah perhelatan PKB tahun ini dapat menuju perubahan yang lebih baik? Artinya, terlepas dari cengkraman egoisme sektoral, kekuasaan, wewenang, dan rasa nyaman dari kelompok internal yang selama ini selalu berlindung dalam ekologi birokrasi desa pakraman dengan mengabaikan kepentingan khalayak publik, masyarakat luas secara beradab dan bermartabat demi upaya memenuhi hasrat dan nafsu duniawi yang berorientasi profit atau keuntungan bagi kepentingan pribadi maupun kelompok ataupun golongan tertentu.

Dicari Pemimpin Bernyali

Jawabnya, sudah pasti tergantung kepada sikap dan perilaku kehidupan budaya kita bersama. Terlebih lagi, publik sesungguhnya memang telah mentasbihkan bahwa PKB harus mampu menjadi wahana untuk menunjukkan keagungan peradaban masyarakat Pulau Dewata, Bali dengan integritas nilai luhur dalam berkarya kreatif dan inovatif berbasis kearifan lokal khas Bali sebagai jati diri kebudayaan bangsa di dunia internasional.

Hal ini tentunya, akan dapat tercapai dengan baik sesuai harapan bersama jika beragam kegaduhan komunikasi politik budaya yang senantiasa mewarnai setiap pelaksanaan PKB selama ini dapat dituntaskan secara cepat, tepat dan simultan.

Mengingat, fenomena tersebut telah menjadi rahasia publik secara bertahun-tahun lamanya. Terbukti, beragam kebijakan yang telah ditetapkan seakan hanya mampu menjadi “macan kertas”, yang selalu menarik dalam konteks wacana politik semata. Tapi, tidak pernah mampu terlaksana dalam kenyataan di tengah masyarakat desa pakraman sebagai realitas sesungguhnya, yang menginspirasi gerakan perubahan global secara komprehensif.

Bahkan, terkesan seakan terjadi praktik pembiaran serta tidak ada kemauan kuat dan niat tulus iklas tanpa pamrih untuk menuntaskannya. Pasalnya, para elite politik penguasa pemangku kebijakan acapkali dicap publik telah gagal ataupun tidak mampu melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai kelengkapan alat negara secara profesional dan bertanggungjawab dalam menciptakan kemaslahatan publik, kesejahteraan yang lebih baik dan berkeadilan serta lebih beradab dan bermartabat.

Dalam konteks ini, berarti kepemimpinan Bali semestinya tidak hanya dituntut harus punya wawasan luas, dan integritas, serta cerdas intelektual semata, melainkan juga harus berjiwa besar dan punya nyali besar, obyektif, jujur, berani, tegas, dan adil dalam menjalankan tugas pengabdiannya sebagai kelengkapan alat negara secara birokratis.

Sehingga, betul-betul mampu secara transparan membongkar dan menuntaskan praktik mafia premanisme jalanan yang telah mengegemoni ataupun mengkoptasi perhelatan seni budaya di ajang PKB selama ini. Apalagi, praktik mafia premanisme ataupun keindahan perilaku egoisme sektoral dari kelompok internal ini telah terjadi selama bertahun-tahun lamanya dan bahkan secara masif telah memicu stigma negatif PKB sebagai ajang pasar malam semakin membumi dan sangat sulit untuk dihapuskan di tengah derasnya arus global dan modernisasi kehidupan sosial kekinian.

Jika fenomena kegaduhan komunikasi politik budaya di ajang PKB ini tak segera dituntaskan, implikasinya konstruksi mahadasyat dari kreativitas seni budaya untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan lokal khas kabupaten/kota (Bali) sebagai daya saing global kepariwisataan dunia secara perlahan dan pasti akan menjadi semakin terpuruk dan mengalami degradasi moral yang sangat memprihatinkan.

Nah, dalam upaya itulah khalayak publik terutama kalangan sosial media massa baik cetak maupun elektronik dan lainnya pun kini dituntut selalu terdepan dan proaktif mengawal setiap proses perubahan kebijakan menuju arah perbaikan yang lebih baik dalam menuntaskan beragam kegaduhan komunikasi politik budaya di ajang PKB tahun ini, demi perbaikan pelayanan publik yang prima dan beradab serta berbudaya secara lebih konstruktif.

Sehingga, perhelatan budaya tahunan itu nantinya betul-betul mampu menciptakan ide dan gagasan cemerlang yang lebih beradab dan bermartabat dalam etika sosial berbangsa, dan bernegara serta bermasyarakat. Demi upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang mendunia. Mengingat, tanpa perubahan PKB tahun ini tak akan ada pembaruan, dan tak akan ada kemajuan yang lebih baik dan menyejahterakan bagi kemaslahatan publik di masa depan. WB-MB