AJANG Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-35 tahun 2013 telah berlangsung semarak. Beragam pertunjukan seni budaya baik lokal, nasional maupun internasional telah dipentaskan. Ribuan seniman dengan semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih saling berlomba-lomba berebut ruang dan waktu untuk dapat menebarkan pesona taksunya. Bahkan, ribuan pencinta seni budaya dengan sukarela pun telah mengapresiasi beragam karya kreatif para seniman tersebut ketika beraksi di atas panggung pementasan di sekitar Taman Budaya, Arts Centre Bali, Denpasar. Di antaranya Kalangan Ayodya, Kalangan Ratna Kanda, Kalangan Angsoka, Wantilan, Gedung Ksirarnawa, Panggung Terbuka Ksirarnawa, dan Panggung Terbuka Ardha Candra, serta Panggung Terbuka Gedung Kriya.

 Menyikapi dinamika tersebut berarti para seniman secara demokratis terkesan telah melaksanakan tugas dan kewajibannya di ajang PKB ke-35 tahun ini secara baik dan penuh rasa tanggungjawab. Begitu juga tugas dan kewajiban panitia pun telah dianggap dapat terlaksana secara baik dan lancar. Tentunya, dengan berbagai catatan tersendiri yang patut dievaluasi secara lebih serius. Sehingga beragam persoalan klasik yang dapat merusak pencitraan daya kreatif dan jati diri seniman dalam upaya melestarikan dan mengembangkan denyut nadi kehidupan seni budaya berbasis kearifan lokal khas Bali dalam kontruksi PKB selanjutnya dapat dituntaskan secara menyeluruh, holistik dan komprehensif sesuai asas keadilan dan etika sosial yang lebih beradab dan bermartabat.

 Dalam konteks ini, alternatif paling strategis harus dilakukan adalah harus ada upaya signifikan untuk menyadarkan masyarakat terhadap pentingnya tindakan tegas penegakan supremasi hukum secara berkeadilan. Artinya, tak hanya para elite penguasa pemangku kebijakan yang dituntut menciptakan pemerintahan yang memberikan harapan yang lebih baik dan menyejahterakan kepada khalayak publik. Namun, sejatinya masyarakat pun harus kembali menyeimbangkan antara hak dan kewajiban hidupnya yang selama ini cenderung dianggap lebih banyak menuntut haknya saja daripada memenuhi kewajiban hidupnya sebagai warga negara yang taat hukum, merdeka dan berdaulat.

 Atas dasar itulah, jangan sampai wilayah milik khalayak publik, masyarakat luas dimanfaatkan oleh kelompok internal dalam desa pakraman hanya untuk memenuhi kepuasan nafsu finansial (ekonomi) dari kepentingan personal maupun kelompok atau golongan tertentu. Apalagi, patut disayangkan nantinya desa pakraman dapat disinyalir sebagai agen atau aktor utama pencetak profesi koruptor budaya jalanan dalam ajang PKB secara masif.

 Tak Pernah Tuntas

 Sudah menjadi rahasia publik bahwa beragam persoalan klasik yang senantiasa menyandera pencitraan PKB selama ini senantiasa masih jauh dari kata tuntas. Karena selalu terjadi pembiaran yang terstruktur dan berkelanjutan tanpa ada keinginan kuat dan niat tulus iklas tanpa pamrih untuk menyelesaikan secara menyeluruh demi upaya menegakkan keadilan bagi kepentingan khayalak publik, masyarakat secara lebih luas. Di mana masyarakat dari kelompok internal dalam desa pakraman acapkali merasa aman dan nyaman dengan keindahan perilaku cacat moral, yakni praktik mafia premanisme budaya secara koruktif, sehingga dicap sebagai oportunis jalanan ataupun koruptor budaya. Ini artinya telah terjadi kemerosotan moral yang sangat ekstrem di tengah kehidupan masyarakat dalam desa pakraman.

 

Celakanya, pemerintah pun terlanjur memanjakan desa pakraman dengan menggelontorkan dana bantuan keuangan khusus hingga mencapai angka miliaran rupiah lebih setiap tahunnya. Namun, kelemahan fatalnya kepercayaan pemerintah selama ini seakan tak mampu mengubah keindahan perilaku cacat moral, yakni praktik mafia premanisme budaya dari kelompok internal dalam desa pakraman tersebut. Bahkan, terkesan terjadi proses pembiaran secara terus-menerus tanpa pernah ada langkah tegas, serius dan konkret untuk melakukan tindakan penegakan supremasi hukum yang berkeadilan demi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas. Ini artinya para elite penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) bersama masyarakat dinilai turut serta dalam mencederai asas keadilan dalam berdemokrasi.

 Dengan kejadian ini penting bagi pemerintah untuk mengembalikan legitimasi serta kredibilitasnya dalam membenahi citra PKB sebagai media alternatif paling strategis untuk mencetak karakter bangsa yang lebih beradab dan bermartabat melalui upaya melestarikan dan mengembangkan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Jika keindahan perilaku yang kontraproduktif dari kelompok internal dalam desa pakraman ini dibiarkan tanpa berkesudahan akan berakibat sangat fatal bagi penguatan ruh dari taksu kebudayaan bangsa terhadap pergeseran arus peradaban budaya global yang serba canggih dalam industri kepariwisataan dunia di masa datang.

 Agen Perubahan

 Persoalannya, jika diamati secara cermat dalam konteks ini perlu ada gerakan bersama sebagai agen perubahan untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan PKB selanjutnya. Di mulai dari perbaikan terhadap tindakan keindahan perilaku secara personal atau individu para elite penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam ekologi pemerintahan baik tingkat pusat (provinsi) maupun kabupaten/kota di Bali, serta desa pakraman khususnya yang berada di sekitar Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar hingga pemangkasan praktik mafia premanisme budaya dari kelompok internal di tengah kehidupan masyarakat, khalayak publik.

 Dalam upaya mencegah terjadinya kisruh budaya di tengah gejolak kemunafikan dari kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat perlu adanya gerakan revolusi pemikiran secara intelektual, cerdas, kritis dan jujur. Guna menciptakan solusi politik budaya yang beradab dan bermartabat dalam pelaksanaan PKB selanjutnya. Sehingga, pergeseran nilai adiluhung budaya Bali yang sosio-spiritual ke komersial-material ataupun dari sakral ke sekuler tidak semakin kebablasan dan penguatan ruh dari taksu PKB semakin lebih baik dan menyejahterakan. Tentunya, hal ini tidak mudah tanpa adanya kemauan dan niat yang kuat secara tulus iklas tanpa pamrih untuk menciptakan agen perubahan dalam kepanitian PKB selanjutnya. Karena, melestarikan dan mengembangkan seni budaya yang telah mentradisi di tengah kehidupan masyarakat dalam desa pakraman adalah lebih dari sekadar estafet antargenerasi.

 Oligarki Politik Media

 Peran media massa dalam menyosialisasikan beragam aktivitas seni budaya dalam ajang PKB selama ini memang termasuk relatif cukup penting, tapi tidak terlalu signifikan terhadap proses edukasi publik sesuai realitas kekinian. Karena, media massa kini cenderung terjebak oligarki politik, sehingga indepedensi relasi kuasa keredaksian politik media semakin termarjinalisasi dari semangat kebebasan pers yang demokratis. Dengan kata lain, relasi kuasa politik media telah berafiliasi dengan relasi kuasa politik. Akibatnya, oligarki politik menguat, tapi peran media massa semakin merosot tajam dan bahkan dinilai sangat mengkhawatirkan.

 Implikasinya, upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali dalam konstruksi PKB semakin memprihatinkan. Karena tidak adanya kontrol sosial yang cerdas, kritis dan jujur dalam praktik jurnalisme fakta dan jurnalisme makna. Sehingga, ditaktor dari praktik mafia premanisme budaya dalam pelaksanaan PKB semakin merajarela tanpa adanya tindakan penegakan supremasi hukum secara berkeadilan demi asas kebenaran dari kepentingan khalayak publik, masyarakat luas.

 Persoalannya, masih adakah media massa yang berpihak kepada kepentingan khalayak publik ketika oligarki politik telah memarjinalisasi kebebasan pers secara sistematis dan terstruktur?. Tentunya, jawaban jujur dari realitas ini sangat sulit diungkapkan dalam jurnalisme fakta dan jurnalisme makna di tengah kemunafikan informasi sosial kekinian yang cenderung terlanjur telah jauh dari kesadaran dan kemuliaan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali yang dikonstruksi dalam ajang PKB selama ini.

 Jika fenomena ini dibiarkan terus-menerus terjadi berarti keagungan nilai adiluhung yang tersirat dalam keragaman pementasan seni pertunjukan oleh para seniman selama sebulan di ajang PKB selama ini terkesan dan bahkan semakin diyakini hanya sebatas kemegahan konseptual semata alias macan kertas atau macan ompong, yang tak ada pengaruh signifikan terhadap upaya perubahan dari keindahan perilaku cacat moral, yakni praktik mafia premanisme dari kelompok internal dalam desa pakraman yang telah berkembang bertahun-tahun secara kebablasan di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

 Semestinya, kalau tak sesuai aturan, harus ditindak secara tegas, sehingga keindahan perilaku dari praktik mafia premanisme itu tidak tumbuh berkembang menjadi tradisi dari budaya salah kaprah yang cacat moral dan jauh dari keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali.

 Taksu v Uang

 Pelaksanaan PKB ke-35 tahun ini telah mengangkat tema payung, yakni Taksu: Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri, yang diadaptasi dalam pementasan seni pertunjukan oleh para seniman selama sebulan penuh mulai 15 Juni hingga 13 Juli 2013. Sayangnya, kekuatan ruh dari taksu dalam PKB tahun ini seakan masih tetap termarjinalisasi dan bahkan semakin terpenjara oleh cengkraman kaum kapitalisme pemilik modal sekaligus desakan kepentingan ekonomi dari kelompok internal, yakni praktik mafia premanisme dalam desa pakraman. Selain itu, masih terjadi kembali praktik diskriminasi terhadap para seniman yang tampil dalam PKB selama ini. Sehingga, pemaknaan taksu pun dinilai hanya sebatas relasi kuasa politik uang semata dan jauh dari kesan edukatif yang dapat menumbuhkan kesadaran mencerdaskan dan menyejahterakan bagi kehidupan para seniman khususnya dan khalayak publik pada umumnya.

 

Fenomena ini bahkan terungkap dalam serasehan PKB ke-35 di gedung Ksirarnawa, Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, Kamis (4/7). Di mana tampil sebagai pembicara di antaranya Rohaniawan Hindu Ida Pedanda Gede Putra Telabah dengan topik mengenai Aspek Spiritual Taksu dalam Kreativitas Budaya dan Eksistensinya di Era Kekinian, dan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Maridjan, P.Hd terkait topik Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam memajukan Kebudayaan Nasional melalui Festival Budaya Berkelas Dunia, dengan moderator Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

 Di samping itu, juga tampil sebagai pembicara seperti Prof. Dr. I Wayan Dibia, MA (guru besar ISI Denpasar) dengan makalah tentang Konsep Taksu dan Tantangan Aktualisasinya dalam Ranah Seni, dan Dr. Ni Luh Arjani, M.Hum dengan topik bahasan tentang Kesetaraan Gender dalam Seni dan Budaya dengan pemandu dialog (moderator,-red) Prof. Dr. I Nyoman Dharma Putra, M.Lit. Selain itu, juga muncul pembicara Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si (PHDI Bali) dengan makalah tentang Merawat Ajeg Taksu: Perspektif Agama dan Kebudayaan, serta Dr. Dewa Gde Palguna, MH dengan topik Taksu dalam Profesi Hakim, yang dipandu moderator Dr. Anak Agung Gede Wisnu Murti, M.Si.

 Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. I Wayan Dibia menegaskan bahwa keamanan dan kenyamanan merupakan faktor dalam menciptakan taksu dari sebuah pementasan seni pertunjukan. Di mana dalam PKB tahun ini faktor keamanan dan kenyamanan belum ditangani secara baik. Karena itu, faktor keamanan dan kenyamanan harus diprioritaskan dalam pelaksanaan PKB selanjutnya. Senada dengan hal itu, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si pun menambahkan bahwa dalam upaya menjaga ajeg Taksu, masyarakat harus setia dengan semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih untuk menjalankan ritual panca yadnya secara benar dan sesuai dengan ajaran dharma dari agama Hindu. Ini tentunya tidak sebatas ritual semata, tapi harus dilaksanakan secara nyata dalam keindahan perilaku kehidupan di tengah masyarakat.

 Sementara itu, Dr. Dewa Gde Palguna, yang mantan hakim mahkamah konstitusi menegaskan bahwa para elite penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) harus berani melakukan tindakan tegas terhadap upaya ataupun praktik mafia premanisme yang dapat mencederai pencitraan PKB sebagai ajang pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali. Artinya, negara (pemerintah) tidak boleh kalah dengan perilaku keindahan, yakni tindakan egoisme dari kelompok internal dalam masyarakat yang cenderung hanya menuntut kepuasan nafsu finansial untuk kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Meskipun dicap ditaktor, tapi kalau untuk kepentingan keadilan dan kebenaran bagi khalayak publik, masyarakat dalam arti luas tidak akan dipersoalkan. Bahkan wajib hukumnya demi legitimasi kehidupan berkesenian yang merdeka dan berdaulat, serta metaksu.

 Berdasarkan pernyataan tersebut, dalam konteks ini berarti dalam pelaksanaan PKB selanjutnya harus ada proses revolusi kinerja kepanitiaan secara sistematis dan terstruktur dari tingkat pusat (Bali), hingga kabupaten/kota termasuk ekologi desa pakraman. Sehingga, ruh dari taksu kebudayaan bangsa yang dikonstruksi dalam ajang PKB setiap tahun dengan landasan kekuatan kearifan budaya lokal khas Bali tidak harus terus-menerus tergerus pergeseran gejolak arus globalisasi dan peradaban budaya global.

 Kini, yang paling penting adalah menantikan tindakan nyata dari keberanian para elite penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) untuk memenuhi janji politik budayanya dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan seni budaya Bali, sehingga mampu mewarnai budaya global secara mendunia. Dalam hal ini adalah ketegasan pemimpin untuk menegakkan supremasi hukum secara berkeadilan dengan memangkas keindahan perilaku egoisme praktik mafia premanisme budaya dalam ajang PKB selanjutnya. WB-MB