capres-cawapres-2014

Pemilu Presiden 2014 merupakan Pilpres pertama yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga eskalasi politik semakin tinggi.

Kondisi itu disebabkan serangan satu pihak kepada pihak yang lain, namun itu adalah realitas politik Indonesia yang berkembang dinamis.

Pasca era reformasi, Indonesia mengalami tiga kali pemilihan Presiden dan wakil presiden secara langsung, 2004, 2009, dan 2014. Di Pilpres 2004, antusias nuansa demokrasi dalam pemilihan langsung sangat terasa karena diikuti empat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Jumlah pasangan capres dan cawapres yang ikut pilpres 2004 di putaran pertama yakni pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid (dicalonkan Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri- Hasyim Muzadi (dicalonkan PDI Perjuangan), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo (Partai Amanat Nasional) dan Susilo Bambang Yudhoyono- Muhammad Jusuf Kalla (Partai Demokrat).

Pilpres 2004 putaran kedua diikuti dua pasangan capres-cawapres, yakni Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono- Muhammad Jusuf Kalla. Pilpres 2004 putaran pertama dan kedua berlangsung aman dengan kemenangan SBY-JK Dalam Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan capres-cawapres yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (diusung Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN, dan PBB), Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto (diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra), dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (Partai Golkar dan Hanura).

Sementara itu di Pilpres 2014, dari 12 partai nasional yang ikut Pemilu, diikuti dua pasangan capres-cawapres yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (diusung Partai Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat, dan PBB). Sedangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla didukung PDI-P, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia.

Dalam semua pelaksanaan Pilpres, dukungan partai politik itu tidak bisa dihindari karena peraturan mensyaratkan adanya ambang batas presiden atau presidensial treshold, yaitu minimal dukungan suara rakyat melalui representasi parpol.

Tujuan awal parpol-parpol itu berkoalisi agar calon yang diusungnya bisa ikut dalam pertarungan pilpres, namun setelah itu kubu yang menang akan bagi-bagi kekuasaan kepada partai pengusungnya dalam jabatan menteri negara. Itu dilakukan sebagai bentuk kompensasi dukungan yang diberikan parpol pengusung di parlemen.

Kondisi itu yang terkadang mengesampingkan hak yang dimiliki presiden dalam menentukan para pembantunya berdasarkan asas profesionalitas dan kapabilitas. Namun yang terjadi adalah bagi-bagi jatah menteri kepada partai pengusung pasangan capres-cawapres.

Di era pemerintahan SBY-JK, menteri Partai Golkar adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, Menperin Fahmi Idris, Menkum HAM Andi Mattalatta (Partai Golkar). Menteri dari PAN adalah Mensesneg Hatta Radjasa dan Mendiknas Bambang Sudibyo, dari PPP Mensos Bachtiar Chamsyah dan Meneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali.

PKS mendapat tiga jatah menteri yaitu Anton Apriyantono, Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asyari, dan Menegpora Adyaksa Dault. Demokrat mendapat jatah Mendikbud dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, dan Menteri Negara PAN TaufiK Effendi PKB mendapat jatah Meneg PDT Lukman Edy, Menaker dan Transmigrasi Erman Suparno (fungsionaris PKB), sementara itu PBB mendapat kursi Menteri Kehutanan MS Kaban, dan PKPI Meneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta.

Dalam kabinet SBY-Boediono, menteri dari Partai Demokrat antara lain Darwin Zahedy Saleh (digantikan Jero Wacik sebagai Menteri ESDM), Freddy Numberi (digantikan EE Mangindaan sebagai Menteri Perhubungan), Syarifuddin Hasan, Andi Mallarangeng (digantikan Roy Suryo). Dari PAN yaitu Hatta Rajasa, Patrialis Akbar (diganti Amir Syamsuddin) lalu PAN diberi jatah Menteri PAN dan RB Azwar Abubakar, Zulkifli Hasan.

Menteri dari Golkar Agung Laksono, Fadel Muhammad (digantikan Syarif Cicip Sutardjo), M.S Hidayat. PKS Salim Assegaf Al Jufri, Tifatul Sembiring, Suharna Surapranata (digantikan Gusti Muhammad Hatta non-PKS), dan Suswono.

Sedangkan PPP diwakili Suryadharma Ali (digantikan Lukman Hakim Saifudin, sebagai Menteri Agama), Suharso Monoarfa (digantikan Djan Faridz). PKB ada Muhaimin Iskandar, Helmi Faisal.

Kondisi seperti itu menunjukkan realitas politik di Indonesia bersifat dinamis namun cenderung bagi-bagi kekuasaan dalam lingkaran pemerintahan khususnya pemberian jatah menteri. Tentu saja hal itu menunjukkan adanya kompromi politik yang ditunjukkan eksekutif agar aman di parlemen dengan menggandeng mitra koalisi di dalam pemerintahan.

Perubahan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Amandemen UUD 1945 ditujukan agar kekuasaan presiden sebagai pemegang tertinggi tampuk kekuasaan eksekutif lebih berpusat pada jalannya pemerintahan dan kekuasaan legislatif dikembalikan kepada DPR.

Selain itu, amandemen memberikan perimbangan kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4 ayat (1), sedangkan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1). Hal itu menegaskan bahwa presiden tidak tergantung pada parlemen seperti dalam sistem parlementer, misalnya DPR ataupun MPR tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya kecuali melakukan pelanggaran hukum.

Perubahan mendasar kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam Amandemen UUD 1945 menegaskan perubahan yang mendasar dan menegaskan sistem presidensial dalam UUD 1945. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan pemerintahan pasca amandemen UUD 1945 dilaksanakan dengan sistem presidensial.

Pasca amandemen UUD 1945, urusan pemerintahan dalam sistem presidensial terpusat pada kekuasaan eksekutif untuk menjalankan tugasnya mewujudkan kesejahteraan pada masyarakat yaitu negara memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk melakukan hal dalam mewujudkan cita-cita tersebut.

Selanjutnya dalam UUD 1945 Pasal 17, menyebutkan pemberian wewenang kepada presiden dalam menentukan menteri di dalam kabinetnya, dengan kata lain hak prerogatif presiden dalam menentukan para pembantunya. Lalu terkait pengangkatan, pemberhentian, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta tanggungjawab menteri diatur dalam Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian negara.

Dalam era pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono, pola presidensial tidak terlalu terlihat karena pembagian kekuasaan antar partai pengusung pasangan sangat terlihat meskipun penentuan menteri merupakan hak prerogatif presiden.

Pemerintahan SBY-JK, SBY yang berasal dari Partai Demokrat, memerlukan dukungan kuat di parlemen dalam melancarkan kebijakan yang dikeluarkan. Hal itu terkait juga dengan eksistensi Demokrat yang baru terbentuk dan alhasil untuk mengamankan posisi pemerintahan maka kepentingan partai pengusung diakomodir.

Di era pemerintahan SBY-Boediono, kondisinya tidak jauh berbeda, sistem presidensial seperti dilupakan dan tentunya kompromi politik sering dilakukan sehingga terlihat posisi eksekutif kurang kuat.

Namun harus diakui sistem yang dijalankan di dua era pemerintah tersebut membuat mulus jalannya pemerintahan hingga akhir masa jabatannya. Gejolak-gejolak politik tetap ada namun dampaknya tidak terlalu signifikan yang dapat membahayakan jalannya pemerintahan karena mampu diselesaikan dengan lobi pada tingkatan elit partai.

Pelaksanaan Pilpres 2014 yang diikuti pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, di masing-masing pihak didukung koalisi lebih dari empat partai politik. Selain itu masing-masing berjanji tidak akan melakukan sistem bagi-bagi kekuasaan ketika salah satu terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

Pemenuhan janji tersebut tentu saja bukan saja ditekankan pada sisi moral seorang pemimpin yang tidak ingkar janji namun harus mengacu pada ketundukkan pemimpin pada konstitusi negara. Seperti dijelaskan diawal bahwa UUD 1945 telah menegaskan Indonesia menggunakan sistem presidensial dalam menjalankan pemerintahan.

Presiden terpilih nanti harus sadar bahwa pasca amandemen UUD 1945, konstitusi memberikan perimbangan kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan DPr sebagai pemegang kekuasaan legislatif.

Era reformasi, dengan mengusung demokratisasi, yang telah terjadi selama 16 tahun tidak boleh mundur salah satunya dengan tidak menjalankan amanat konstitusi yang lahir dalam semangat demokrasi. Sistem demokrasi, salah satunya dalam pemerintahan, dengan agenda penguatan lembaga-lembaga negara sehingga sistem pemerintahan bisa berjalan efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Pelaksanaan Pilpres 2014 seharusnya bisa menjadi momentum untuk mengembalikan semangat sistem presidensial yang telah tercantum dalam konstitusi. Hal itu agar pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak sekedar prosedural belaka, namun secara substansi khususnya dalam sistem pemerintahan bisa berubah dan berjalan efektif. AN-MB