CR_I_Nengah_Muliarta-2

Penulis :

I Nengah Muliarta

Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali

Denpasar (Metrobali.com)-

Pelaksanaan Pilkada serentak di 6 kabupatenkota di Bali diharapkan menjadi ajang pembuktian independensi lembaga penyiaran yang ada di Bali. Lembaga penyiaran sebagai harus mampu menunjukkan keberpihakannya pada kepentingan rakyat dan bukan pada salah satu pasangan calon. Lembaga penyiaran harus mampu menunjukkan fungsinya sebagai pengontrol proses politik dan bukan sebagai pemain politik dengan melakukan manipulasi informasi. Lembaga penyiaran harus mampu menjalankan fungsi media sebagai penyebar informasi dan bukan sebagai provokator.

Lembaga penyiaran sebagai bagian dari media kini dituntut mampu memainkan peran idealnya selama pelaksanaan pilkada. Pertama terkait penyebarluasan informasi pilkada, lembaga penyiaran harus menjadi ar mitra utama KPU dalam proses penyebar luasan informasi pilkada kepada masyarakat.  Kedua, terkait upaya pendidikan politik, lembaga penyiaran harus mampu menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat guna mendorong peningkatan kualitas demokrasi. Ketiga, sebagai control politik lembaga penyiaran harus mampu menjadi mitra Bawaslu dalam pengawasan pilkada.

Menjaga independensi siaran menjadi tugas penting bagi pengelola lembaga penyiaran karena berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat. Masyarakat berharap lembaga penyiaran memberikan pemberitaan yang proporsional dan berimbang terhadap semua pasangan calon. Masyarakat juga tentu sangat berharap tidak mendapatkan berita dan iklan yang bernuansa propaganda. Namun tantanganya sering terjadi konflik kepentingan di dalam lembaga penyiaran, dimana pada beberapa kasus pemilik ataupun wartawan menjadi simpatisan bahkan pengurus partai politik tertentu.

Dalam penyiaran pilkada serentak, lembaga penyiaran harus memperhatikan pedoman siaran pemilihan umum dan pemilihan kepala umum daerah yang tertuang pada Standar program siaran (SPS) pasal 71. Pada pasal 71 sudah ditegaskan bahwa lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan pemilihan umum. Lembaga penyiaran juga wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilihan umum. Berikutnya lembaga penyiaran dilarang memihak salah satu peserta. Dalam hal pengemasan program siaran wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan serta peraturan dan kebijakan teknis tentang pemilihan umum yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan khusus program siaran iklan kampanye harus tunduk pada peraturan perundang-undangan  serta peraturan dan kebijakan teknis tentang pemilihan umum yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Pada proses pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015, lembaga penyiaran harus memperhatikan batasan pengertian kampanye. Pengertian kampanye yang terdapat dalam PKPU No.7 tahun 2015 pada pasal 1 ayat (15) disebutkan “kampanye pemilihan selanjutnya disebut kampanye adalah kegiatan menawarkan visi, misi dan program pasangan calon dan/atau informasi lainnya yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan pemilih. Definisi dalam PKPU No.7 tahun 2015 ini berbeda dengan pengertian kampanye sebelumnya. Dimana kampanye hanya dibatasi pada kegiatan untuk meyakinkan pemilih dan menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu/pasangan calon. Dengan batasan definisi kampanye yang tertuang dalam PKPU no. 7 tahun 2015 maka lembaga penyiaran benar-benar dituntut mampu memberikan pemberitaan yang seimbang bagi semua pasangan calon. Jika hanya memberitakan kegiatan satu pasangan calon walaupun tidak menyebutkan visi, misi dan tidak berisi ajakan untuk memilih maka lembaga penyiaran tersebut akan tetap terjebak dalam kesan mendukung pasangan calon yang diberitakan. Proporsi yang adil dan sama menjadi kunci bagi lembaga penyiaran dalam usaha mengindari kesan mendukung salah satu pasangan calon.

Poin penting lain yang harus diperhatikan lembaga penyiaran dalam Pilkada serentak adalah batasan iklan kampanye. Dalam PKPU no.7 tahun 2015 disebutkan bahwa iklan kampanye adalah penyampain pesan kampanye melalui media cetak dan elektronik berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pasangan calon atau meyakinkan pemilih memberi dukungan kepada pasangan calon, yang difasilitasi oleh KPU provinsi/KIP Aceh dan KPI/KIP kabupaten/kota yang didanai anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan batasan definisi iklan kampanye ini maka iklan kampanye diluar pendanaan APBD berarti illegal. Lembaga penyiaran juga dapat dikenakan sanksi karena menayangkan iklan kampanye yang illegal.

Sesuai ketentuan pasal 33 PKPU no.7 tahun 2015 disebutkan bahwa iklan kampanye dibuat dan dibiayai pembuatannya oleh pasangan calon atau tim kampanye. Namun hanya penyiarannya di lembaga penyiaran dibiayai oleh APBD dan dikoordinasikan penayanganya oleh KPU. Kemudian sesuai dengan ketentuan dalam pasal 34 disebutkan bahwa penayangan iklan kampanye dilaksanakan selama 14 hari sebelum dimulainya masa tenang. Dimana jumlah penayangan iklan kampanye di televisi dan radio paling banyak kumulatif 10 spot dalam satu hari. Perbedaanya hanya dari segi durasi, untuk televisi durasinya maksimal 30 detik dan untuk radio maksimal 60 detik. Lembaga penyiaran juga harus memperhatikan ketentuan bahwa batas jumlah penayangan iklan kampanye baik pada TV dan radio berlaku untuk semua jenis iklan kampanye seperti iklan baca (adlips) di radio ataupun dalam bentuk running text dan super infus pada lembaga penyiaran TV.

Pilkada serentak dengan jumlah pasangan calon yang beragam di tiap daerah menjadi ladang empuk bagi lembaga penyiaran untuk mendapatkan iklan kampanye sebanyak-banyaknya. Namun lembaga penyiaran harus ingat bahwa terdapat pedoman dan aturan terkait jumlah dan durasi iklan. Dalam pasal 46 ayat (8) Undang-Undang penyiaran disebutkan “waktu siar iklan niaga untuk lembaga penyiaran swasta paling banyak 20 persen, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling banyak 15 persen dari seluruh waktu siaran. Waktu siar iklan niaga tersebut sudah termasuk waktu siar untuk iklan layanan masyarakat. Dimana dalam pasal 46 ayat (9) disebutkan bahwa “waktu siar iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya”.

Akal-akalan sering dilakukan lembaga penyiaran dalam mendapatkan penghasilan dari program berita yaitu dengan menawarkan berita pesanan berbayar atau yang lebih dikenal dengan advertorial. Akal-akalan ini tentunya tidak sesuai dengan semangat idealisme dan independensi karena pembuatan berita berdasarkan pesanan dan bayaran. Padahal secara etika redaksi harus bebas dari pesanan dan intimidasi, apalagi kepentingan uang. Bila akal-akalan tersebut dilakukan oleh lembaga penyiaran, berarti lembaga penyiaran tersebut telah melanggar ketentuan pasal 46 ayat (10) Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam pasal 46 ayat (10) disebutkan bahwa waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapapun, untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan. Konsekuensi lainnya adalah melanggar ketentuan pasal 58 PKPU no.7 tahun 2015. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan iklan kampanye komersial selain yang difasilitasi oleh KPU. Jika akal-akalan tersebut tetap dilakukan lembaga penyiaran maka secara tidak langsung lembaga penyiaran telah menjerumuskan pasangan calon dalam pelanggaran. Pasangan calon tersebut dapat terkena sanksi administrasi hingga sanksi diskualifikasi. Dengan menawarkan berita pesanan berbayar juga berarti lembaga penyiaran turut merusak proses demokrasi.

Lembaga penyiaran dalam proses pilkada serentak diharapkan tidak hanya mengejar pendapatan dari iklan kampanye. Lembaga penyiaran harus tetap ingat pada tugasnya untuk memberi informasi dan pendidikan pada masyarakat terkait proses tahapan pilkada melalui iklan layanan masyarakat. Dalam pasal 36 PKPU no. 7 tahun 2015 terdapat kewajiban lembaga penyiaran untuk menyiarkan iklan kampanye layanan masyarakat nonpartisan paling sedikit satu kali dalam sehari dengan durasi 60 detik. Iklan kampanye layanan masyarakat tersebut dapat diproduksi sendiri oleh lembaga penyiaran atau dibuat oleh pihak lain. Namun jumlah waktu tayang iklan kampanye layanan masyarakat tersebut tidak termasuk jumlah tayangan iklan kampanye yang difasilitasi oleh KPU provinsi atau kabupaten/kota.

Lembaga penyiaran kini dituntut cerdas dalam melakukan pendekatan dalam memenangkan persaingat untuk mendapatkan jatah iklan kampanye. Saatnya lembaga penyiaran berkoordinasi dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota karena pemasangan iklan kampanye pasangan calon difasilitasi oleh KPU. Apalagi anggaran untuk penayangan iklan kampanye sangat tergantung dari kemampuan APBD daerah. Pada sisi lain, KPU juga hendaknya melibatkan lembaga penyiaran yang telah memiliki ijin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tetap dalam bekerjasama untuk penyiaran iklan kampanye.

Salah satu hal yang harus segera dikoordinasikan antara KPU, Bawaslu, KPI dan media dalam pilkada serentak yaitu terkait peliputan on the spot dari TPS pada saat pasangan calon mencoblos. Permasalahan berikutnya adalah terkait penyiaran hasil survey atau jajak pendapat yang tentu saja dapat mempengaruhi preferensi pemilih. Selain itu harus dibuat kesepakatan terkait pengaturan penyiaran quik count.

Masyarakat tentu sangat berharap lembaga penyiaran di Bali dapat melakukan perannya secara maksimal dalam mengawal proses demokrasi. Sudah saatnya lembaga penyiaran memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang proses demokrasi yang bermartabat. Sudah saatnya juga masyarakat, elit politik, partai politik, akademisi dan NGO turut serta mengontrol lembaga penyiaran agar tetap menyajikan informasi yang akurat, adil dan berimbang.NM-MB