Ilustrasi – Pilkada Serentak 2020

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 sesuai jadwal KPU akan diselenggarakan pada bulan September 2020. Terdapat enam kabupaten/kota di propinsi Bali yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2020.

Keenam kabupaten/kota tersebut adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Karangasem. Hanya tersisa 3 kabupaten di Propinsi Bali yang sudah dan belum akan melaksanakan Pilkada yaitu Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Buleleng.
Berkaca dari Pilkada sebelumnya secara latarbelakang partai adalah PDIP yang merajai even politik di Bali baik itu Pilkada maupun pemilihan legislatif. PDIP menempatkan kadernya sebagai kepala daerah di enam kabupaten yaitu Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Bangli dan Gianyar serta satu walaupun bukan kader tapi didukung penuh PDIP yaitu Kota Denpasar. Hanya dua kabupaten di Bali yang kepala daerahnya lepas dari genggaman PDIP yaitu Karangasem dan Klungkung. Walau sebelumnya Bupati Karangasem yaitu Mas Sumantri sebelumnya adalah kader PDIP dan sekarang Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta disinyalir dekat dengan PDIP setelah menyatakan keluar dari Gerindra.
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa Pilkada seringkali dianggap pertarungan logistik (uang) dan janji kampanye. Anggapan ini tidak salah karena salah satunya didorong oleh sistem pemilu Indonesia yang sangat liberal. Dalam momen politik apapun soal uang dan kemudian janji ini bisa dilihat berlangsung dengan massif. Tidak heran bila ada even Pilkada seperti yang akan berlangsung serentak tahun 2020 ini pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah atau siapakah kandidat yang memiliki logistik (uang) cukup atau malahan berlebih? Jarang bahkan hampir tidak pernah orang bertanya soal gagasan, program atau apa yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Bila kemudian ada yang bertanya kritis kenapa soal logistik (uang) seperti menjadi hal yang utama dalam Pilkada dan kemudian politik uang seperti lumrah dalam even politik? Jawaban biasanya secara umum akan ada dua yaitu pertama jawaban bahwa uang untuk biaya politik seperti biaya makan, minum, transport, alat peraga tambahan. Kedua, ini versi kandidat dan timses biasanya menyangkut politik uang karena masyarakat lebih peduli dengan uang dan minim mau lihat gagasan dan program. Implikasinya kemudian adalah perdebatan antara duluan mana ayam dan telur. Saling tuding Kandidat (elit politik) menyebut masyarakat hanya peduli dengan uang agar mau memilih, dan masyarakat (pemilih) menjawab bahwa kalau mereka (kandidat) sudah menang akan lupa dengan masyarakat pemilihnya, jadi ya minta uang cash di depan.
Perdebatan tak berujung pangkal inilah yang mewarnai dua puluh tahun Pilkada di era reformasi ini yang seharusnya mengubah sikap mental masyarakat dan elit politik menuju arah yang lebih baik termasuk melawan politik uang. Semakin kencang jargon-jargon seperti Lawan Politik Uang, Pilihlah Kandidat yang berintegritas dan sebagainya itu malah semakin praktek politik di Indonesia menuju ke arah sebaliknya. Usaha-usaha pendidikan politik termasuk penataan sistem dan kelembagaan politik terus dilakukan oleh kelompok dan institusi negara yang peduli dengan kehidupan politik yang lebih baik. Satu diantaranya adalah institusi KPK yang ironisnya banyak menangkap kepala daerah yang terseret arus imbal jasa pasca Pilkada kepada pihak yang membiayai Pilkada (Bebotoh Pilkada).
Lalu bagaimana dengan perhelatan Pilkada serentak di Bali 2020 yang akan segera berlangsung ini? Bagaimana dengan peluang memilih kandidat yang berintegritas dan bisa melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik bagi daerahnya? Bila kita lihat trend yang ada potensi kita akan disuguhi membeli kucing dalam karung uang dan janji sepertinya masih akan terjadi. Biaya politik yang besar seperti disebutkan oleh beberapa riset oleh akademisi mulai dari satuan Miliar hingga puluhan miliar bahkan ratusan untuk daerah dengan potensi kekayaan alam yang besar. Rinciannya mulai dari biaya tiket maju sebagai kandidat untuk partai-partai pendukung walaupun banyak dibantah oleh kalangan partai politik hingga biaya untuk jual beli suara pemilih.
Harapan akan munculnya kandidat yang mumpuni, berintegritas dan memiliki gagasan, konsep, dan praktek yang berdaya ubah sepertinya masih besar tantangannya pasca Pilkada 2020 nanti. Selain kendala mahalnya ongkos politik, sejauh ini minim sekali kepala daerah di Bali yang memiliki gagasan dan keberanian untuk melakukan terobosan yang berbeda dan lebih baik. Satu ukuran yang sederhana dan gampang adalah melihat portfolio APBD yang dirumuskan kepala daerah bersama DPRD. Pada titik inilah akan muncul kompromi kepentingan antara kepala daerah dengan bandar politik dan pendukung. Item yang selalu besar di portfolio APBD adalah anggaran belanja PNS atau ASN langsung dan tidak langsung yang sangat besar bahkan melebih PAD. Belum lagi anggaran pembangunan dan pengadaan yang dalam perencanaannya banyak sekali terdapat titipan pihak keluarga dekat atau bandar Pilkada seorang kepala daerah.
Bila menilik APBD kabupaten/kota bahkan propinsi di Bali porsi belanja langsung dan tidak langsung untuk belanja pegawai lebih besar dari PAD. Hanya kabupaten Klungkung yang porsi belanja pegawai tidak langsungnya yaitu gaji ASN yang kecil. Bila sebuah daerah PAD nya besar memang tidak masalah namun bila porsi APBD yang lebih banyak dana perimbangan seperti pajak PHR tentu sangat ironis. Karena kemudian dari sisi penganggaran akan terlihat seperti peribahasa lebih besar pasak daripada tiang-lebih besar pengeluaran daripada pendapatan yang dimiliki. Ini belum lagi ditambah alokasi belanja tidak langsung untuk dana bantuan sosial, dana subsidi yang besar dan seringkali digunakan untuk kepentingan politik dukungan masyarakat oleh kepala daerah.
Pilkada serentak di Bali 2020 secara data-data yang ada memang pada akhirnya akan sulit menghindari istilah membeli kucing dalam karung uang dan janji. Itulah realitas politik saat ini dalam sistem pemilu yang sangat liberal dan masyarakat serta elitnya berpikir pragmatis sesaat. Pertanyaannya apakah kita akan terus menerus menerima dan tersandera oleh politik uang dan bualan janji-janji palsu yang memabukkan ini? Dibutuhkan terus menerus pendidikan politik untuk masyarakat pemilih, penegakan hukum sebagai efek jera serta perubahan sistem politik yang meminimalisir politik uang serta kontrol akan janji-janji politik yang mendidik dan mencerdaskan yang bisa menjawabnya.

Penulis : Nyoman Sutiawan