Pilkada Senyap Waspadai Modus “Money Politic”
Denpasar (Metrobali.com)-
Pengamat politik dari Universitas Ngurah Rai Bali Luh Riniti Rahayu menjelaskan, jika Pilkada serentak kali ini jauh lebih senyap namun harus tetap waspadai money politik. Namun ia tidak sependapat dengan istilah Pilkada senyap seperti yang disampaikan oleh Jokowi beberapa waktu lalu. Menurutnya, Pilkada serentak yang senyap itu hanyalah perasaan orang saja karena terjadi perbedaan perlakukan dalam Pilkada.
“Sejak tahun 2004, Indonesia sudah menggelar Pilkada atau Pileg. Dan sejak itu, masing-masing daerah di Indonesia menggelar Pilkada sendiri-sendiri. Dan setelah dihitung, hampir 3 hari sekali Indonesia menggelar Pilkada baik kabupaten maupun provinsi. Jadi eforia itu terus melekat di mata publik. Sekarang tibalah saatnya Pilkada serentak, diatur ketat oleh KPU. Maka tampaknya seperti Pilkada serentak yang senyap. Namun sesungguhnya tidaklah demikian,” ujarnya di Denpasar, Jumat (13/11).
Menurut Luh Riniti, sekarang hanya karena alat peraga kampanye diatur oleh KPUD, biaya kampanye oleh KPUD, jadwal kampanye juga diatur, maka sepertinya Pilkada itu senyap. Karena selama ini yang membuat rame itu adalah alat peraga kampanye dan pengerahan massa secara massif. Namun kali ini model seperti itu mulai perlahan-lahan dihilangkan.
Akibatnya, Pilkada kelihatan senyap tetapi sebenarnya eforia itu tetap ada. Ia menegaskan, bila Pilkada serentak kali ini berhasil, maka ini akan menjadi referensi di Pilkada serentak tahun 2019 nanti. Kesuksesan dan kualitas itu akan kelihatan dari masalah yang timbul, kasus yang dilaporkan ke MK.
Bila lebih dari 260-an kabupaten yang menggelar Pilkada serentak ini hanya satu atau dua kabupaten yang menghadapi persoalan di MK nanti, maka Pilkada yang dianggap senyap ini sebenarnya telah sukses dan berkualitas. Maka ini harus dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan. Sebaliknya bila banyak kasus masuk ke MK atau jalur pidana lainnya, maka Pilkada yang senyap ini harus dievaluasi.
Menurutnya, sekalipun kali ini dikatakan Pilkada senyap namun tidak demikian dengan politik uang. Politik uang di Pilkada sudah menjadi kultur yang sulit dihilangkan. Bahka sekarang ini sudah terjadi pergeseran modus dalam politik uang sehingga orang tidak bisa membedakan lagi mana biaya politik dan mana politik uang.
“Kalau dulu biasanya tim sukses yang berperan. Sekarang pengawasan ketat. Para kandidat takut berurusan dengan hukum. Maka yang digunakan adalah sistem gaji atau bayar di depan,” ujar mantan Komisioner KPU Bali ini.
Di beberapa kabupaten di Bali, ada kandidat yang sudah menggaji relawan sejak 6 bulan yang lalu. Mereka bekerja di masing-masing desa. Tugasnya merekrut orang, dibayar dengan sejumlah uang dan seterusnya. Ini juga adalah bagian dari politik uang, hanya modusnya sudah lebih canggih. SIA-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.