ilustrasi-buronan-koruptor

Denpasar (Metrobali.com)-

Petugas Kantor Badan Pertanahan Wilayah Bali Nyoman Winarta memberi keterangan yang membingungkan dalam sidang pungutan liar Program Nasional Agraria (Prona) senilai Rp265 juta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Jumat (4/4).

“Prona tersebut tidak gratis,” katanya dalam sidang pungli Prona dengan terdakwa Putu Wibawa saat masih menjabat Kepala Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, itu.

Mendengar pernyataan itu, Husein Putra selaku penasihat hukum terdakwa langsung bertanya kepada saksi, “Mengapa masyarakat membayar pungutan Prona, lalu kepala desanya dibawa ke pengadilan? Kenapa ini bisa terjadi?”.

Lalu Winarta yang dihadirkan ke persidangan sebagai saksi ahli meralat pernyataa sebelumnya untuk kemudian diluruskan bahwa Prona tersebut murah karena disubsidi oleh pemerintah.

Penasihat lalu bertanya lagi, “Jika murah berapa anggaran pastinya? Pasti ada perbandingan, misalnya dari Rp100 ribu menjadi Rp10 ribu.” Setelah itu, Ketua Majelis Hakim Made Suweda menyela di antara penasihat hukum dan saksi. “Jika anda menyebut itu disubsidi, berarti murah. Namun masyarakat tetap harus mengeluarkan uang,” katanya.

Namun saksi terdiam dan sama sekali tidak memberikan tanggapan, meskipun sangat mengetahui prosedur permohonan Prona.

Dalam kasus itu, terdakwa Putu Wibawa didakwa melanggar Pasal 12 huruf e Ayat18 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP subsider Pasal 11 KUHP dengan ancaman hukuman minimal empat tahun penjara.

BPN Kabupaten Buleleng pada 2008 menyiapkan dana senilai Rp310 juta untuk penerbitan 1.000 eksemplar sertifikat tanah.

Dengan demikian penerbitan sertifikat untuk setiap bidang tanah senilai Rp310 ribu yang dianggarkan untuk biaya permohonan blanko dan biaya sosialisasi kepada masyarakat.

Namun terdakwa mengenakan pungutan senilai Rp600 ribu per sertifikat untuk sebidang tanah sehingga total uang yang terkumpul Rp160 juta dari 267 pemohon.

Kemudian pada 2011 anggaran yang disediakan BPN Rp1,2 miliar untuk penerbitan 4.000 lembar sertifikat. Namun Putu Wibawa malah melakukan pungutan setiap sertifikat Rp700 ribu. Pada saat itu total pemohon 150 orang sehingga uang yang terkumpul Rp105 juta. AN-MB