KEMAMPUAN untuk merumuskan sasaran dengan jelas, serta langkah yang tepat untuk mencapai suatu tujuan dengan kewenangan secara konstruktif kini menjadi tuntutan mutlak dari kepemimpinan Bali. Terutama dalam mengonstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai pilar utama meningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Jika kepemimpinan Bali gagal mendorong karakter konstruktif yang kolektif, santun, damai dan bermartabat serta mengakselerasi sikap dan perilaku publik yang simpatik sudah pasti denyut nadi kehidupan seni budaya bangsa khususnya kearifan lokal khas Bali akan semakin termarjinalisasi dalam pergaulan internasional.

Maka itulah beragam persoalan klasik yang telah menjadi momok dari konstruksi PKB selama ini mesti dapat dituntaskan. Seperti fakta dari pengadaan lighting dan sound system senilai Rp 21,1 miliar dari dana anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD) Bali untuk menopang perlengkapan pemanggungan pertunjukan seni budaya Bali dalam konstruksi PKB ke-34 tahun ini di Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar yang masih termarjinalisasi dari keinginan publik terutama kalangan seniman. Pasalnya, secara nyata lighting dan sound system tersebut telah menimbulkan kekecewaan publik. Ini karena sejumlah pertunjukan seni budaya kearifan lokal khas Bali yang disajikan gagal memuaskan apresiasi khalayak, masyarakat pencinta seni budaya akibat terkendala teknis lighting dan sound system yang tidak maksimal. Di antaranya pemilihan Jegeg Bagus Bali, Parade Drama Gong, Parade Lagu Daerah Bali, Parade Gong Kebyar, dan lainnya. Ironisnya, kalangan seniman bahkan acapkali masih terbebani biaya penyewaan peralatan dan perlengkapan sound system secara mandiri.

Padahal, di sisi lain kalangan seniman dituntut tampil totalitas dalam semangat ngayah tulus iklas tanpa pamrih dengan bantuan dana operasional yang amat sangat terbatas. Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bahkan selalu mengingatkan Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali agar memanfaatkan sound system dan lighting yang telah disediakan dan tidak boleh menyewa lagi, serta jangan pernah membebani kalangan seniman. Ini berarti segala kebutuhan pemanggungan merupakan tanggungjawab penuh pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan Bali dengan seluruh jajarannya sebagai pihak penyelenggara. Kalangan seniman harus diperhatikan dengan lebih baik dan dimuliakan sebagai penyangga utama konstruksi PKB. Ironisnya, persoalan klasik terkait sound system dan lighting ini masih saja terjadi dalam PKB tahun ini meskipun publik telah mengapresiasi positif semangat dari kebijakan atas niat baik dalam pengadaannya. Bahkan, publik sangat berharap lighting dan sound system dalam konstruksi PKB tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, karena masih baru dengan teknologi serba canggih.

Masa Lalu, Kini, dan Akan Datang

Jika menengok masa lalu diketahui bahwa dalam seni pertunjukan di Bali memang belum begitu memakai teknologi terkait sound system dan lighting secara maksimal, tapi kini sudah menjadi sebuah kebutuhan mutlak untuk menjamin kekuatan tranformasi taksu dalam penampilan seniman atas kekuatan energi nilai budaya citra yang mencakup etika, estetika, logika, spiritualita, solidarita, dan praktika di depan publik, khalayak masyarakat pencinta seni budaya Bali secara maksimal. Kenapa ? Karena memang kebutuhan pemanggungan dengan perlengkapan dan peralatan sound system dan lighting yang memadai sebagai tuntutan utama dan mutlak bagi sebuah penyajian pertunjukan seni budaya secara global.

Pandangan senada juga dilontarkan oleh Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, guru besar Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Unud Denpasar, yang mengatakan bahwa stage (panggung) seni pertunjukan global wajib hukumnya dikelola dengan managemen profesional terkait pengadaan perlengkapan dan peralatan sound system dan lighting yang menjadi kebutuhan utamanya. Oleh sebab itulah, pengadaan pemanggungan dalam konstruksi PKB dengan segala peralatan dan perlengkapannya sudah menjadi prioritas utama bagi penguatan citra kebudayaan bangsa secara lokal, nasional maupun internasional.

Mengingat budaya Bali sebagai ruang apresiasi publik internasional yang berkembang dari industri pariwisata dunia. Jika gagal memenuhi kebutuhan mutlak dari pemanggungan itu berarti kepemimpinan Bali belum mampu memuliakan gagasan cemerlang dan program terbaik daripada mantan gubernur Bali, almarhum Ida Bagus Mantra, yang telah diwarisi hingga sekarang dalam konstruksi PKB. Padahal, sifatnya hanya meneruskan saja dan bukan mengonstruksi dari tahapan awal mulai proses pendirian sarana prasarana gedungnya, Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar. Sungguh ironis sekali bukan !.

Nah, untuk itulah paradigma berpikir kritis harus terus dikembangkan dalam proses konstruksi PKB ke depan, sehingga mampu menggugah kepribadian kepemimpinan Bali dalam menjalankan profesinya secara lebih bertanggungjawab dan setia mengabdi kepada kepentingan publik dalam arti seluas-luasnya, demi mencapai tujuan bersama yakni kehidupan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal khas Bali yang mencerdaskan, mencerahkan dan menyejahterakan. Konkretnya, kepemimpinan Bali ke depan harus mampu menciptakan sebuah pemanggungan yang mampu menyajikan pertunjukan seni budaya berstandar internasional dalam konstruksi PKB ke depan, supaya pancaran cahaya pesona yang ditawarkan tidak kehilangan daya pikatnya akibat terbentur kendala teknis terkait sound system dan lighting hingga tidak gagal memberikan sentuhan desahan suara (vokal) yang memesona, serta berkesan dan sarat makna seperti dalam konstruksi PKB tahun ini.(*)

  • I Nyoman Wija, SE, Ak

 Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah media harian di Bali, yang juga aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar