MetroBali

Selangkah Lebih Awal

Pertemuan Mega-Prabowo disebut rekonsiliasi “luka politik” 2014

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan keterangan pers usai pertemuan tertutup di kediaman Megawawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj.

Kupang (Metrobali.com)-

Analisis politik dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona, berkata, secara simbolik, pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto adalah rekonsiliasi “luka politik” 2014.

“Ya, semacam memberikan penegasan bahwa ‘luka konflik politik’ 2014, telah disembuhkan lewat diplomasi nasi goreng,” kata Bataona, di Kupang, Senin mengomentari pertemuan Megawati-Prabowo.

Ia berkata, secara substansial antara Jokowi dan Prabowo sebenarnya merepresentasikan rivalitas senyap antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan sejak 2014, di mana Megawati dan Prabowo saat itu mulai pisah jalan akibat munculnya fenomena Jokowi.

Lima tahun sebelumnya, justru Megawati dan Prabowo bergandengan tangan untuk kontestasi Pemilu 2009. Bersama dengan beberapa pasangan kontestan lain, mereka harus mengakui keunggulan pasangan Susilo Yudhoyono-Boediono.

“Bisa dicek secara historis dalam jejak digital bahwa, Megawati dan Prabowo saat itu mulai beda jalan karena dalam lebaran sebelum masa-masa pencalonan Jokowi, Mega terbaca menolak kunjungan Prabowo di rumahnya di Teuku Umar,” kata Bataona.

Kemudian Megawati secara diam-diam mencalonkan Jokowi dan akhirnya menjadi rival sabahatnya Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2014.

Padahal, berdasarkan perjanjian di 2009, seharusnya Megawati memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada pemilu presiden 2014, setelah pasangan calon Megawati-Prabowo yang bersandikan “MegaPro” kalah dalam pertarungan menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.

“Jadi jelas bahwa sejak 2014, setelah bersama sepakat di 2009, Mega dan Prabowo adalah rival dalam senyap yang terus meruncing hingga Pilpres 2019,” katanya.

Karena itu, bisa dibaca bahwa diplomasi nasi goreng adalah bagian dari lobi politik Megawati kepada Prabowo untuk mendinginkan suasana dan meredahkan keterbelehan bangsa.

Di situ, secara simbolik terlihat bahwa Megawati sebagai ‘master mind’ kubu Jokowi, atau rival politik kubu Prabowo harus sendiri turun tangan untuk mendamaikan suasana.

Bataona menilai, pada sisi lain, Megawati perlu bertemu dengan Prabowo untuk mengklarifikasi sikapnya pada2014, yang menolak mencalonkan Prabowo, juga sekaligus merangkul Prabowo demi kepentingan konsolidasi politik nasional ke depan.

Langkah Megawati ini menurut dia, karena Jokowi bisa berada dalam bahaya instabilitas politik tanpa dukungan Prabowo Subianto, yang menjadi rival politiknya dalam dua kali pertarungan yakni di Pilpres 2014 dan 2019.

“Saya kira Jokowi dan Megawati paham bahwa Prabowo adalah kunci. Semua pihak di balik Prabowo seperti Amien Rais dan lain-lain hanya bisa diajak bernegosiasi jika Prabowo bisa dirangkul,” kata dosen ilmu Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, serta Ilmu Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira Kupang itu.

Artinya secara simbolik pertemuan itu adalah rekonsiliasai luka politik 2014, dan sekaligus simbol konsolidasi stabilitas politik untuk 2019-2024, kata Mikhael Bataona yang juga pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira itu.

Sumber : Antaranews.com