Saut Hutagalung 2

Jakarta (Metrobali.com)-

Satu aspek logistik yang saat ini masih belum terlalu mendapat sorotan dari masyarakat luas adalah logistik sektor perikanan, padahal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan hal itu adalah tantangan besar.

“Salah satu tantangan besar yang kita hadapi dalam pemanfaatan sumber daya kelautan, khususnya perikanan adalah kurangnya dukungan logistik berupa ruang pendingin (cold storage) dan ruang pembekuan serta transportasi laut,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung di Jakarta, Jumat (5/9).

Menurut Saut, beragam hal tersebut sedang dan akan dikembangkan dengan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) sebagai pelaksanaan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 26 Tahun 2012 di bidang kelautan dan perikanan.

Ia mengungkapkan pada periode 2012–2013 sudah dibangun 54 ruang pendingin berkapasitas 30–1.500 ton, terutama di pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Beberapa ruang pendingin, ujar dia, dibangun juga di Kalimantan, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua yang dibiayai oleh KKP dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Selain itu, lanjutnya, relatif cukup banyak lagi yang dibangun swasta dengan kapasitas besar 10.000–15.000 ton.

“Pada tahun 2014, SLIN koridor Sultra-Jatim-DKI Jakarta akan dimantapkan. ‘Cold storage’ yang dibangun, 300 ton di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Kendari, 400 ton di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong Lamongan dan 1.500 ton di PPS Nizam Zachman Jakarta saat ini dalam persiapan peresmian yang direncanakan September 2014,” kata Saut.

Dirjen Kelautan dan Perikanan KKP memaparkan bahwa secara keseluruhan pada tahun 2014 direncanakan pembangunan sebanyak 21 ruang pendingin dan beberapa ruang pembekuan.

Untuk itu, pemerintahan calon presiden terpilih periode 2014–2019 Joko Widodo juga diharapkan dapat mempercepat pengembangan upaya peningkatan logistik di sektor kelautan dan perikanan, terutama ke Kawasan Timur Indonesia.

“Ke depan, pada masa pemerintahan Kabinet 2014–2019, diharapkan percepatan dalam penqembangan SLIN menjangkau Kawasan Timur Indonesia (KTI), juqa sentra-sentra produksi seperti Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Tiongkok Selatan, Samudra Hindia, dan Pasifik,” kata Saut Hutagalung.

Pemerintah pada tahun 2015 dengan anggaran Rp100 miliar akan mengembangkan koridor Maluku Utara-Jatim, Maluku-Jatim-Jakarta, dan Sulawesi Tengah-Jatim-DKI Jakarta.

Secara khusus hal yang perlu mendapatkan perhatian, ujar dia, adalah pembangunan “cold storage” (ruang pendingin) di pulau-pulau kecil yang jauh dari sentra pendaratan utama, misalnya, di Ogotua dan Banggai di Sulawesi Tengah dan Bacan di Maluku Utara.

Sentra pendaratan utama, antara lain Pelabuhan Perikanan Bitung, Ambon, Kendari, Muara Baru Jakarta, Ternate, Bungus Padanq, Cilacap, Belawan, Sibolga, dan Pelabuhan Ratu.

“Penqembanqan SLIN sanqat strategis dalam peningkatan daya saing dan upaya penguatan kedaulatan panqan. SLIN akan berkontribusi positif terhadap pembinaan mutu ikan, mengurangi biaya pascaproduksi, dan meningkatkan ketersediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri serta mengurangi impor ikan bahan baku industri pengolahan,” tuturnya.

Melalui penguatan logistik di pulau-pulau, khususnya di KTI serta peningkatan jasa transportasi laut, diharapkan akan membantu upaya penanggulangan praktik “IUU fishing” (pencurian ikan).

Saut mengingatkan perikanan merupakan sumber protein hewani yanq luar biasa dan terbesar yang dimiliki Indonesia karena ikan menyediakan 58 persen protein hewani di Indonesia, sedangkan tingkat konsumsi ikan Indonesia mencapai 35 kg/kapita tahun 2013 dan ditargetkan menjadi 38 kg/kapita tahun 2014.

“Perikanan dapat menjadi penopang utama ketahanan gizi masyarakat kita di perkotaan, perdesaan, dan pesisir, termasuk di daerah terpencil,” ujarnya.

Selain peran terhadap kedaulatan dan ketahanan pangan dan gizi, kata Saut, perikanan merupakan sumber devisa yang tidak kecil yang dapat ditingkatkan lebih signifikan.

Berdasarkan data KKP, ekspor hasil perikanan pada tahun 2013 mencapai 4,18 miliar dolar AS dengan perolehan devisa Rp46 triliun. Diharapkan ekspor hasil perikanan dapat ditingkatkan menjadi sekitar 10 miliar dolar AS pada tahun 2019.

“Apa yanq dilakukan KKP hanya berupa fasilitasi dan stimulasi penqembanqan SLIN sesuai dengan Peraturan Menteri KP Nomor 5 Tahun 2014, khususnya membangun tahap awal. Ke depan diharapkan peran dunia usaha memperluas jangkauan SLIN, baik mendanai pembangunan ‘cold storage’ dan ABF (ruang pembekuan) maupun penyediaan jasa pelayaran,” ucapnya.

Menurut dia, pemerintah akan lebih fokus pada perumusan kerangka kebijakan yanq mendukung dan sistem insentif. Khusus daerah pulau-pulau atau wilayah terisolasi yang kurang menarik bagi swasta, Pemerintah atau KKP akan mengambil alih pembangunan fasilitas pendingin yang diperlukan nelayan.

SLIN Bantu Nelayan KKP juga menyatakan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang dikembangkan pemerintah bakal membantu meningkatkan aktivitas perekonomian yang akan berdampak pada tingkat kesejahteraan nelayan.

“Dengan pengembangan SLIN diharapkan ikan hasil tangkapan nelayan dapat ditampung dan diserap pasar di hulu dengan baik, distribusi ikan dari sentra produksi ke sentra pasar di hilir, dan industri lebih lancar, serta ketersediaan dan pasokan ikan ke pasar dan bahan baku bagi industri pengolahan meningkat,” kata Saut Hutagalung.

Menurut Saut, hal itu juga akan membantu “stabilisasi” harga yang diterima nelayan, antara lain karena keberhasilan SLIN akan mengikis kasus ikan dibuang karena tidak tertampung dan harga jatuh karena ikan melimpah.

Dengan berbagai upaya tadi yang diungkit melalui pengembangan sistem logistik dan transportasi laut, ujar dia, akan menghela peningkatan pendapatan masyarakat nelayan dan pesisir.

“Kehidupan sekitar 11,5 juta keluarga nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah/pemasar ikan yang semuanya UMKM termasuk sebagian besar masyarakat kita di pulau-pulau kecil yang perekonomiannya tergantung langsung pada perikanan diharapkan dapat terangkat,” katanya.

Sebelumnya, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja menyatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil merupakan upaya mendorong nelayan kecil dapat membentuk kelompok usaha untuk meningkatkan kemandirian ekonomi.

“Kami mendorong nelayan yang selama ini kerap bekerja secara individual untuk menjadi kelompok badan usaha apakah bentuknya koperasi, CV, atau PT,” kata Sjarief Widjaja dalam jumpa pers mengenai RPP tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil di Jakarta, Jumat (29/8).

Menurut Sjarief, dorongan bagi nelayan dan pembudidaya berskala kecil itu bertujuan agar kelompok-kelompok usaha nelayan tersebut dapat terlindungi dalam bentuk badan hukum yang tidak diperoleh sebelumnya.

Sekjen KKP mengutarakan harapannya dengan pembentukan kelompok usaha nelayan itu, mereka akan “duduk sama tinggi” dengan kelompok-kelompok pelaku usaha lainnya.

Berdasarkan data KKP, jumlah nelayan di Indonesia saat ini adalah sekitar 2,7 juta jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 95,6 persennya merupakan nelayan tradisional yang beroperasi di sekitar pesisir pantai.

Sementara itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengingatkan para pelaku perikanan seperti nelayan dan pembudidaya berskala kecil masih belum siap menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

“Jika dibiarkan, nelayan, pembudidaya, dan perempuan nelayan di Indonesia hanya akan menjadi buruh di tengah persaingan regional,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim. AN-MB