Rizal E. Halim

Jakarta (Metrobali.com)-

Kedaulatan pangan merupakan sebuah cita-cita mulia yang menjadi impian perwujudan setiap negara, termasuk Republik Indonesia. Namun, perlukah untuk mencapai hal itu dengan membentuk Kementerian Kedaulatan Pangan? Hal tersebut karena munculnya wacana gagasan pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan yang akan menggabungkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Pertanian untuk alasan perampingan dan kemudahan koordinasi dalam pemerintahan.

Namun, Lembaga Kajian Kebijakan Kelautan (LK3) menolak pandangan yang menyatakan bahwa Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan layak untuk digabungkan.

“Wacana pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan yang terkait dengan sektor tersebut,” kata Direktur Eksekutif LK3 Rizal E. Halim di Jakarta, Kamis (11/9).

Menurut Rizal, usulan Kementerian Kedaulatan Pangan itu rencananya mengabungkan Kementan dan KKP, khususnya untuk bidang perikanan, karena bidang kelautan akan dibentuk lembaga baru bernama Kementerian Maritim.

Ia berpendapat bahwa rekonstruksi tata kelola kelembagaan, khususnya Kementerian Kedaulatan Pangan dan Kementerian Maritim, dinilai hanya akan menguras energi yang tidak esensial.

“Pertimbangan yang perlu diperhatikan dari gagasan Kementerian Kedaulatan Pangan dan Kementerian Maritim bahwa Kementan dan KKP bukan hanya mengurusi komoditas pangan,” tegasnya.

Ia mencontohkan komoditas seperti karet yang merupakan bahan baku untuk industri ban, juga diurusi Kementan.

Begitu juga dengan KKP, lanjut Rizal, seperti komoditas ikan hias dan mutiara yang notabene bukan komoditas pangan juga secara serius dikembangkan, bahkan menjadi komoditas ekspor.

Menurut dia, langkah yang lebih tepat terkait dengan penguatan kelembagaan adalah melalui efisiensi penggunaan anggaran serta pemangkasan sejumlah pos anggaran yang tidak perlu.

“Apa yang disampaikan oleh salah satu deputi Tim Transisi yang memaparkan temuannya terkait dengan sejumlah pos anggaran yang dipandang perlu dipangkas untuk meperkuat basis fiskal, misalnya biaya rapat kementerian yang mencapai belasan triliun, saya pikir lebih realistis daripada berkutat pada nomenklatur lembaga,” katanya.

Senada dengan hal tersebut, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Pusat Kajian Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) menolak rencana penggabungan Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Penggabungan (Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan) ini dinilai Kiara dan PK2PM sebagai sebuah kemunduran meski sumber daya perikanan merupakan bagian pokok pangan bangsa,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim.

Menurut dia, usulan menggabungkan kedua kementerian tersebut menjadi Kementerian Kedaulatan Pangan bertentangan dengan visi dan misi yang mengedepankan pembangunan sumber daya kelautan.

Ia mengingatkan seorang presiden tidak dapat langsung membubarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi harus mendapatkan pertimbangan dari DPR.

Seharusnya Presiden, lanjutnya, dapat menjadikan Kementerian Kedaulatan Pangan sebagai kementerian koordinasi terkait dengan kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, khususnya di bidang pangan.

Sementara itu, Kepala Riset PK2PM Suhana dalam rilisnya menegaskan urusan kelautan tidak hanya urusan pangan, tetapi banyak yang harus dipersiapkan, antara lain penyiapan sumber daya manusia serta pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang memperhatikan aspek ekologi dan budaya.

“Rencana penggabungan kementerian kelautan dan perikanan dengan kementerian pertanian justru akan mengecilkan kembali berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini walaupun belum optimal,” katanya.

Langkah Mundur Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengemukakan bahwa rasa keberatannya bila Kementerian Kelautan dan Perikanan digabungkan karena menurut dia hal tersebut adalah satu langkah mundur.

“Memang bukan kapasitas saya setuju atau tidak setuju soal penggabungan itu, menurut saya itu adalah langkah mundur,” ujar Sharif dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/8).

Sharif berpendapat bahwa KKP sudah berhasil melewati fase kritis, sementara Kementan masih harus berjuang untuk dapat melewati fase kritis tersebut.

Hal itu menyebabkan Sharif khawatir bahwa penggabungan dua kementerian ini akan memberikan dampak buruk bagi KKP yang dia katakan sudah memiliki kinerja baik selama ini.

Menteri Kelautan dan Perikanan juga berpendapat bahwa antara perikanan dan pertanian memiliki persoalan yang berbeda sehingga tidak bisa digabungkan.

“Memang bukan kapasitas saya. Namun, kalau boleh beropini, saya tidak setuju karena prestasi perikanan dan kelautan sudah cukup maju sehingga jangan sampai kembali ke bawah,” ujar Sharif.

Senada dengan Menteri, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan bahwa isu penggabungan perikanan dan pertanian menjadi satu kementerian adalah kemunduran sejarah.

“Wacana menggabungkan kembali perikanan dan pertanian akan merupakan kemunduran sejarah seperti pengalaman yang lalu sampai akhir tahun 1990-an,” kata Saut Hutagalung.

Untuk saat ini, menurut dia, upaya arah kebijakan yang paling pas dan perlu didukung adalah memperkuat sektor kelautan pada era pemerintahan yang baru selama lima tahun ke depan.

Ia memaparkan hal-hal yang termasuk dalam penguatan sektor kelautan atau maritim adalah percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan serta penanggulangan praktik “IUU Fishing” (pencurian ikan) yang lebih efektif dan konsisten.

“Memperhatikan potensi yanq besar dan kontribusi terhadap penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa negara, dan ketahanan pangan serta gizi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan haruslah diperkuat,” tegas Dirjen KKP.

Kurang Efektif Sementara itu, Wakil Menteri Perindustrian Alex S.W. Retraubun juga menilai bahwa wacana untuk menggabungkan KKP dengan Kementan kurang efektif.

“Dampak dari penggabungan tersebut, dalam waktu 2,5 tahun akan dihabiskan untuk pengurusan adminstrasi, aset, dan kepegawaian,” kata Alex dalam jumpa pers Marintec Indonesia 2014 di Surabaya, Rabu (10/9).

Alex menjelaskan, dalam kurun waktu tersebut, para pegawai kementerian itu akan mengalami disorientasi terkait dengan tugas pokok dan fungsi yang bisa menimbulkan masalah baru.

Demikian pula halnya dengan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ibnu Multazam yang menyatakan wacana penggabungan itu akan sukar dilakukan karena terlalu berat beban tugasnya.

“Kedua kementerian itu terlalu besar untuk disatukan,” kata Ibnu setelah menghadiri rapat tertutup Komisi IV dengan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan di Gedung DPR Jakarta, Senin (25/8).

Menurut Ibnu, untuk mengurus masalah pangan seharusnya dibentuk sejenis lembaga pangan nasional yang kedudukannya setingkat menteri yang berada di luar kementerian.

“Lembaga ini nantinya bisa mengurusi masalah pangan dari hulu sampai hilir seperti masuk ke desa-desa dan melakukan pembelian dan penjualan dari petani jika harga terlalu rendah ataupun terlalu tinggi,” ujar dia.

Pembentukan lembaga pangan, kata politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa ini, sebenarnya merupakan mandatori dari Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. “Namun, sampai sekarang lembaga ini belum ada,” ucapnya.

Perlu disadari bahwa Indonesia memiliki keunikan, baik sebagai negara agraris maupun negara maritim.

Namun, bukan berarti bahwa kedua keunikan tersebut dapat digabung begitu saja karena masing-masing memiliki kekhususan, baik dalam hal permasalahan, tantangan, hambatan, maupun cara untuk mengatasinya persoalan tersebut. AN-MB