besakih2

Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata, menyimpan ketenangan dan kedamaian yang senantiasa menjadi pusat perhatian umat saat berlangsungnya kegiatan ritual berskala besar.

Pura Agung Besakih berlokasi di lereng kaki Gunung Agung–yang memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut–secara administratif masuk wilayah Kabupaten Karangasem, sekitar 85 km timur laut Denpasar.

Kawasan suci di ujung Timur Bali itu terdiri atas 16 kompleks pura yang menjadi satu kesatuan tak terpisah satu sama lain, memiliki arti penting bagi kehidupan keagamaan umat Hindu, yang dianut sebagian besar masyarakat Pulau Dewata.

Keunikan, kesakralan, dan menawannya kawasan Besakih senantiasa menjadi sasaran kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara saat menikmati liburan di daerah ini.

Di balik ketenaran tersebut, kata Guru Besar Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia, kini memerlukan sebuah gerakan dan kepedulian bersama untuk menyelamatkan kawasan suci Pura Besakih, Gunung Agung dan sekitarnya bisa keluar dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN) sesuai dengan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010–2025.

Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 itu secara intens terlibat dalam tim independen yang dipimpin Prof. Made Bakta. Tim dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali untuk melakukan pengkajian terhadap KPSN tersebut.

Keputusan yang paling cepat dapat diambil oleh tim adalah usulan untuk mengeluarkan KPSN Pura Besakih, Gunung Agung, dan sekitarnya, dari Lampiran PP No. 50/2011.

Esensi dari sikap yang cepat itu menunjukkan bahwa masyarakat Bali sangat gerah dengan pemikiran pembangunan yang hanya mengutamakan pembangunan fisik, teknis, dan ekonomis.

Hal itu dikhawatirkan bisa menjadi batu pijakan kepada kaum kapitalis untuk melakukan kegiatan investasi ekonomi yang hanya berorientasi keuntungan (profit), efesiensi, dan produktivitas.

Hal itu penting mendapat perhatian dari semua pihak jika masyarakat Bali lalai dengan sendi-sendi sosial-budaya, yang sebetulnya menjadi dasar dari kegiatan ekonomi yang menginginkan keuntungan (benefit), efektivitas, dan sustainabilitas sumber daya.

Ketika tugas Tim 11 sudah berakhir dengan berbagai rekomendasi pada awal Maret 2015, Ketua Bappeda Bali mengundang tim guna mengadakan dialog akhir.

“Ternyata dari tim yang hadir, semuanya masih menyoroti kondisi dan eksistensi kawasan Pura Besakih bahwa kawasan pura telah banyak dikitari oleh lahan-lahan pribadi. Lahan itu setiap saat bisa saja dibangun dan bisa ‘mengotori’ kesucian Pura Besakih,” ujar suami dari Gusti Ayu Mandriwati, dosen Jurusan Kebidanan, Poltekkes, Denpasar itu.

Padahal, kawasan Pura Besakih adalah lokasi yang paling disucikan oleh umat Hindu, sementara Gunung Agung yang melatarbelakanginya merupakan kawasan suci.

Bahkan, Agamawan Ketut Wiana mengatakan bahwa dahulu kawasan pura Besakih dikitari oleh 1.000 haktare lahan milik negara sebagai bumper pura yang dibangun oleh Rsi Markandeya dari Tanah Jawa.

Namun, kini sedikit demi sedikit kawasan bumper itu sudah menjadi milik pribadi yang bersertifikat, yang siap menjadi bumerang bagi kesucian Pura Agung Besakih yang menjadi kebanggaan umat Hindi di Nusantara.

Sementara itu, para pedagang sudah sejak lama merasuk ke kawasan suci. Demikian pula, wisatawan asing dengan santai masuk ke pura, tanpa mengenakan pakaian adat Bali, tanpa pemandu wisata, juga tidak ada teguran dari pihak yang berwenang di sana.

“Saya pikir, kok, manajemen kawasan Pura Besakih lebih jelek daripada kawasan Pura Taman Ayun. Saya berkali-kali mengantar tamu dari UNESCO yang melakukan pemantauan terhadap kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Pura Taman Ayun,” tutur Prof. Windia.

Banyak Kejanggalan Windia yang juga mantan anggota DPR RI itu mengakui memang banyak kejanggalan yang ditemuinya dalam pengelolaan Pura Besakih. Jika di Pura Taman Ayun, Mengwi Kabupaten Badung tidak ada sama sekali wisatawan yang masuk ke kawasan tanpa mengenakan kain. Pengunjung hanya diizinkan sampai di jaba (halaman) tengah meskipun mereka telah membayar tiket masuk.

Sementara itu, kondisi di Pura Besakih, seolah-olah wisatawan bebas berkeliaran sampai di tempat umat melakukan persembahyangan.

Beberapa tahun yang silam Tim THK Awards pernah melakukan penganugerahan awards di Wantilan Pura Besakih. Sehari sebelumnya, pihak panitia melakukan bersih-bersih, termasuk pada kamar kecil (toilet) yang akan digunakan tamu undangan. Apa yang terjadi keesokan harinya tatkala akan digunakan? Kamar kecil itu sudah penuh dengan pasir.

Tentu saja panitia THK Awards sangat kelabakan. Apa maksudnya? Apakah panitia tidak kulonowun (minta izin)? Apakah dengan toilet yang bersih di Wantilan akan mengurangi wisatawan yang (menyewa) toilet di rumah penduduk sekitarnya? Semuanya hingga sekarang masih menjadi tanda tanya.

Jika dugaan terhadap pertanyaan yang terakhir adalah benar, dapat diduga betapa sudah parahnya arus global meracuni alam pikir masyarakat. Arus global yang materialistis, ekonomistis, dan individualistis.

Dengan demikian, pantas agamawan Ketut Wiana mengeluh. Dia mengatakan bahwa masyarakat sekitar Pura Besakih harus paham betul tentang apa itu Pura Besakih. “Pura Besakih, bukan hanya sekadar tempat untuk mencari makan,” katanya.

Ia juga mengeluh karena berkali-kali berbagai pihak sudah mengajak masyarakat sekitar untuk kumpul-kumpul, kemudian akan diberikan penjelasan tentang eksistensi Pura Besakih. Namun, usaha dan ajakan itu tidak pernah mendapatkan respons yang wajar.

Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana mengaku sering merenung tentang keberadaan subak setelah dirinya agak paham tentang eksistensi Pura Besakih.

Sistem subak yang dibangun dengan berdarah-darah sejak 11 Abad yang lalu oleh Rsi Markandya yang juga membangun Pura Besakih, kini pun dalam keadaan “pingsan” karena “dirusak” oleh pewaris-pewarisnya.

Tampaknya warisan kultural dari Sang Rsi di Pura Besakih mengalami nasib yang sama. Alangkah sedihnya beliau di alam sana. Akan tetapi, hal itu mungkin sudah pertanda zaman kaliyuga. Zaman sudah terbolak-balik.

Dalam cerita Mahabrata, fenomena subak dan Pura Besakih seperti ini disebut dengan argumen “Sudah Takdir”.

Namun, suara-suara yang menentang pembangunan yang hanya mengutamakan sisi ekonomi dan fisik sudah makin gencar di Bali. Hal itu adalah sesuatu yang wajar dalam teori pembangunan. Pada suatu era, akan muncul suara masyarakat yang menentang pembangunan.

Hal itu sebagai akibat mereka mulai khawatir dengan dampak pembangunan pada sisi lingkungan, adat, dan kuktural. Kalau hal itu terjadi, pemerintah harus melakukan redefinisi pada arah pembangunannya. Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan RPJM harus dirombak total.

Khusus untuk kawasan Pura Besakih, Tim 11 sudah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk membentuk Badan Pengelola dan Pengembangan Pura Besakih.

“Tunggu saja sikap Pemerintah Provinsi Bali. Kalau memang tidak ada reaksi atau mungkin karena tidak ada potensi pendapatan asli daerah (PAD), kiranya perlu ada tokoh panutan untuk melakukan aksi dengan mengumandangkan Gerakan Nasional Penyelamatan Kawasan Pura Besakih. Kemudian, tunggu respons masyarakat,” tutur Prof. Windia. AN-MB