Denpasar (Metrobali.com)-

 

Dinamika desa pakraman atau desa adat di Bali selalu saja menarik untuk dibicarakan. Eksistensi dan kewenangan desa adat di Bali menyentuh sebagian besar realitas hidup dan kehidupan masyarakat Bali, mulai dari budaya tadisi hingga persoalan tata kelola dan hubungan antar desa adat dan desa dinas. Hal itu terungkap dalam rembug bertemakan “ Desa Adat Pakraman dan Dinas sebagai Ketahanan Budaya dan Aplikasinya, yang diselenggarakan oleh Creative Space Nabeshima-sebuah sanggar kreatif dibawah pimpinan Kadek Suardana, Sabtu (28/1) di Denpasar.

Rembug ini menghadirkan dua narasumber yaitu; Prof. I Wayan P. Windia (Ahli Hukum Adat Bali, Dosen FH Universitas Udayana) dan Sugi Lanus (Budayawan). Rembug yang dimoderatori oleh Wayan Juniartha (Wartawan) cukup memberi penyegaran bagi peserta dalam merespon isu-isu adat yang selalu saja meramaikan pemberitaan media lokal di awal tahun 2012 ini.

Prof. I Wayan P. Windia mengatakan, di awal pembentukan Majelis Desa Pakraman Bali dan pembahasan Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman tahun 2001,  segenap komponen masyarakat di Bali menyepakati pentingnya mengevaluasi pola hubungan antara desa adat dan desa dinas, demi pembangunan Bali. Waktu itu muncul tiga pandangan utama yaitu : 1). Bubarkan desa dinas, selanjutnya menjadi sub ordinate dari desa adat. 2). Tetap mempertahankan desa dinas seperti semula karena antar desa dinas dan desa adat memiliki kewenangan yang berbeda. 3). Tetap mempertahankan desa dinas seperti semula, tetapi ada beberapa kewenangan desa dinas dikurangi atau dipangkas. Dari ketiga pilihan tersebut, akhirnya disepakati desa dinas tetap dipertahankan seperti semula.

“Belajar dari provinsi lain di Indonesia, ada beberapa keragaman pola hubungan antara desa dinas dan desa adat. Di Sumatra Barat misalnya, sejak keluarnya UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, Nagari dan Desa Dinas digabung. Nagari hanya menjadi sub unit dari desa dinas (desa Negara). Tapi nampaknya  belum bisa berjalan Optimal, dan sekarang malah ingin terpisah lagi seperti pola hubungan di Bali.  Di Bali akan sangat berbahaya jika desa adat dan desa dinas digabung, karena tugas dan kewenangannya berbeda,” kata Wayan Windia.

Dengan sudah terbentuknya Majelis Desa Pakraman (MDP) tahun 2004 sebagai implementasi Perda Provinsi Bali No.3 tahun 2003 tentang perubahan atas Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, semestinya  komponen  terkait sudah dapat membentuk SOP pola hubungan desa dinas dan desa adat yang lebih implementatif. ‘’Saat ini sedang diteliti oleh beberapa pakar hukum adat Bali, apakah desa adat/pekraman memungkinkan untuk mengugat Negara. Demikian juga halnya dengan aspek politik termasuk tata kelola lembaga keuangan milik desa adat (LPD),“imbuh Prof. I Wayan P. Windia.

Sementara Sugi Lanus, mengulas tentang intervensi desa dinas terhadap desa adat. Dilihat dari apsek kesejarahan, nampaknya ada berbagai pola hubungan di berbagai wilayah atau desa di Bali tentang posisi dan realitas terbentuknya desa adat (pakraman). Termasuk tahapan-tahapan bagaimana terbangunnya pola hubungan antara desa adat dan desa dinas. Dari banyak prasasti, perbedaan pola hubungan tersebut tergambarkan jelas, terutama apa yang terjadi di Bali selatan dan Bali Utara, kata Sugi Lanus budayawan muda Bali yang sudah sempat membaca 2000-an prasasti.

Sugi Lanus dalam presentasinya yang berjudul, Intervensi Orientalis dan Konflikasi berkelanjutan, dijelaskan pula adanya pergeseran pemaknaan nilai-nilai adat oleh masyarakat adat di Bali, ketika nilai-nilai adat itu di tulis. Ketika nilai adat mulai ditulis, sejak itu lah dinamika dan intervensi politik mulai terjadi. Setidaknya muncul dua persoalan yaitu; pertama, nilai-nilai adat menjadi begitu tekstual dan kehilangan kedinamisannya. Kedua, nilai-nilai adat yang mulai ditulis dan atau tertulis,  membuat warga adat menjadi “takut atau mencekam” karena intervensi negara dan kekuasaan mulai masuk  dengan berbagai kepentingan.

Dikatakan, tatanan adat yang ada di Bali sekarang merupakan bentuk “penyesuaian” dari berbagai pola kekuasaan negara/penguasa dari jaman kejaman termasuk adanya pengaruh kekuasaan luar (kerajaan di Jawa dan Sumatra).

Menanggapi paparan kedua narasumber, Gede Sudibya pemerhati sosial yang juga juga Ketua Umum Hindu Center,  menyoroti adanya transformasi sosial yang luar biasa di Bali. Sehingga penting untuk membangun harmonisasi antara desa adat dan desa dinas demi keberlajutan pembangunan di Bali. “Adat di Bali tidak bisa lepas dari spirit budaya agraris, “paparnya.

Sementara Rektor IHDN Denpasar Dr. Made Titib, menyoroti pentingnya komunikasi dan koordinasi yang intens antara aparatur desa dan masyarakat adat. Dengan demikian, adanya keterbataan-keterbatasan dalam awig-awig maupun implentasinya, niscaya akan dapat diselesaikan dengan bijak, katanya.

Made Nurbawa, Ketua Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bali menanyakan tentang posisi desa adat Bali dalam aspek konstitusi dan perundang-undangan. Mengingat akan segera dibahas RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Mayarakat Adat oleh DPR RI. Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maupun dalam dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU Makamah Konstitusi dijelaskan, Negara hanya akan memberikan penghormatan dan pengakuannya terhadap suatu kesatuan masyarakat hukum adat (beserta hak-hak tradisionalnya) apabila kesatuan masyarakat hukum adat itu benar-benar masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI.

Lebih jauh masyarakat hukum adat tersebut memilik kesatuan masyarakat yang teratur, menetap disuatu wilayah, mempunyai penguasa atau pemimpin, memiliki kekayaan terwujud dan tidak terwujud, dan tidak ada niatan untuk membubarkan ikatan untuk selama-lamanya.  “Saat ini posisi komunitas adat di berbagai wilayah di nusantara tidak sekuat di Bali. Bagaimana upaya-upaya pembuktian yang bisa dilakukan terkait dengan amanat konstitusi tersebut,“tanya Made Nurbawa.

Dalam kesempatan ini, I Dewa Gede Palguna mantan hakim Makamah Konstitusi  mengatakan, berbicara Kesatuan Masyarakat Hukum Adat kedepannya masyarakat menuntut adanya azas “kepastian”. Kalau dulu masyarakat kita lebih menuntut pada azas “kepatutan”. Namun yang terpenting adalah apa dan bagaimana azas “kemanfaatan” yang didapatkan oleh masyarakat. Sayangnya saat ini, masih banyak aparatur desa adat dan desa dinas belum memiliki pemahaman yang cukup dalam implementasi baik substansi dan teknis hukumnya. Lebih jauh, mengingat masih banyak masyarakat adat nusantara yang belum sekuat di Bali, dalam hal “pembuktian” sesuai dengan amanat konstitusi, akan sulit jika hakim MK masih memegang prinsip konstitusi seperti sekarang. Namun akan sangat berpeluang untuk diterima oleh Negara jika komunitas adat nusantara  tersebut menggunkan istilah “masyarakat kesatuan budaya” sehingga “gugatan” berpeluang diterima oleh MK, papar I Dewa Gede Palguna. MB1