Prof Dr Suyatno

Jakarta (Metrobali.com)-

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia mengakui kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, padahal perguruan tinggi adalah institusi pembentuk sumber daya manusia dan pilar utama daya saing bangsa.

“Perguruan tinggi bertanggung jawab membangun SDM bangsa menjadi kompeten dan berdaya saing, bagaimana kalau tidak siap,” kata Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof Dr Suyatno di sela Seminar Nasional Kesiapan Perguruan Tinggi Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 di Jakarta, Kamis (28/8).

Daya saing tenaga kerja Indonesia, ujar dia, masih rendah, dengan angka 4,3 persen saja yang terampil, kalah dengan negara tetangga lainnya, misalnya Malaysia 32,6 persen.

Menurut Rektor Universitas Prof Dr Hamka (Uhamka) itu, dengan SDM yang kurang terampil, jangankan bisa mengisi pasar tenaga kerja di negara ASEAN lainnya, pasar tenaga kerja dalam negeri pun akan dengan mudah diisi oleh tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya.

Ia mengatakan, MEA atau ASEAN Economic Community (AEC) pada hakikatnya merupakan liberalisasi yang mencakup seluruh bidang ekonomi seperti kebebasan arus barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja di negara-negara ASEAN.

Sementara itu, Ketua Umum Aptisi, Prof Dr Edy Suandi Hamid, mengatakan perguruan tinggi harus siap menghadapi MEA karena saat MEA diimplementasikan pada 2015, perguruan tinggi di dalam negeri akan berhadapan secara langsung dengan perguruan tinggi asing di tingkat regional Asia Tenggara.

“Hal ini jelas telah menempatkan jasa pendidikan Indonesia pada kondisi yang sulit karena banyaknya persoalan dihadapi seperti kualitas yang rendah, kekurangan tenaga dosen, rendahnya kuantitas dan kualitas riset, publikasi ilmiah yang terbatas, dan lain-lain,” katanya.

Perguruan Tinggi yang sudah siap akan sangat diuntungkan karena semakin luasnya cakupan pasar, sebaliknya yang tidak siap dalam menghadapi “booming” AEC 2015 terancam tersingkirkan dari dunia pendidikan tinggi nasional, tambahnya.

“Perguruan tinggi di Indonesia, apalagi yang swasta, harus segera berbenah, bersiap diri, karena implementasi MEA tidak lama lagi. Jangan sampai panik ketika tiba-tiba kita diserbu oleh perguruan tinggi dari negara-negara lain,” katanya.

Ia mengatakan, adalah penting bagi lulusan perguruan tinggi untuk mempunyai kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan stakeholder, yaitu harus memenuhi kebutuhan profesional (profesional needs), kebutuhan masyarakat (social needs), kebutuhan dunia kerja (industrial needs), dan kebutuhan generasi masa depan (aspek scientific vision).

Data terakhir pada 2014 jumlah perguruan tinggi sudah mencapai 3.485 buah, dengan PTN berjumlah 100 (3 persen) yang menampung sekitar 35 persen atau 1.541.261 mahasiswa, dan sebanyak 3.385 atau 97 persen merupakan PTS dengan mahasiswa yang ditampung sebanyak 2.825.466 orang atau sekitar 65 persen. AN-MB