Suroto

Jakarta (Metrobali.com)-

Perdebatan soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) oleh dua kubu politik yang berseberangan dalam beberapa waktu terakhir dinilai miskin substansi.

“Perdebatan pilkada langsung dan tidak langsung yang terjadi akhir-akhir ini merupakan titik nadir dari berjalannya demokrasi liberal yang minus substansi,” kata Pengamat dari Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK) Suroto di Jakarta, Jumat (19/9).

Ia mengatakan kondisi itu sekaligus mencerminkan demokrasi politik yang diterapkan tanpa melibatkan peran demokrasi ekonomi.

Hal itu mendorong semua sentral terpusat pada kepentingan kelompok dan segelintir kapitalis.

“Demokrasi kita berubah jadi demokrasi uber alles dan kedaulatan rakyat dirampas oleh kedaualatan partai dan segelintir pengusaha,” katanya.

Menurut dia pilkada langsung atau tidak langsung tidak akan pernah mengubah keadaan masyarakat dan juga tak akan tempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan orang banyak.

Bahkan kata dia pilpres langsung ataupun tidak langsung juga tidak akan mengubah apapun selama demokrasi ekonomi absen dari demokrasi politik.

“Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu seperti dua sisi mata uang. Keduanya harus bekerja secara bersama-sama kalau inginkan perubahan di negeri ini,” katanya.

Ia berpendapat seharusnya parlemen sekarang ini lebih serius untuk memikirkan agenda demokratisasi ekonomi yang tertinggal sehingga hal itulah yang seharusnya menjadi tekanan politik kalau ingin menempatkan kedaulatan rakyat.

“Suara rakyat yang diaspirasikan langsung atau tidak langsung itu adalah untuk merombak struktur ekonomi kita yang sudah sangat konsentatif dan monopolistis,” katanya.

Ia menekankan parlemen saat ini harus bekerja keras menciptakan regulasi agar aset nasional sebesar 87 persen tidak dikuasai oleh kurang dari 1 persen jumlah penduduk.

RUU Pilkada yang telah dibahas sejak 2010 kini diperdebatkan oleh 2 kubu politik yang berseberangan.

Kubu yang tergabung Koalisi Merah Putih menghendaki pilkada lewat DPRD dimana koalisi ini menilai pilkada langsung hanya memicu konflik, korupsi, dan boros anggaran.

Sementara koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menginginkan pilkada tetap langsung seperti 10 tahun terakhir.

Perseteruan kedua kubu ini diduga lanjutan pertarungan Pemilihan Presiden 2014. AN-MB