Foto: Plt Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Gde Sumarjaya Linggih alias Demer dan jajaran pengurus menyampaikan hasil FGD “Refleksi Akhir Tahun: Catatan Kritis Pembangunan Bali 2019” di Kantor DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Selasa (7/1/2019).

Denpasar (Metrobali.com)-

DPD Partai Golkar Provinsi Bali menyampaikan hasil rumusan Focused Group Discussion (FGD) “Refleksi Akhir Tahun: Catatan Kritis Pembangunan Bali 2019” yang disarikan dalam sebuah buku.

Sebelumnya FGD ini digelar di Kantor DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Senin pagi (30/12/2019). Hasil FGD ini juga telah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali.

“Siapapun pemimpinnya, Golkar tetap kritis, objektif, proporsional, konstruktif dan solutif dalam rangka membangun Bali. Karenanya hasil FGD ini kami sampaikan sebagai rekomendasi kepada pemerintah daerah,” kata Plt Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Gde Sumarjaya Linggih alias Demer di Kantor DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Selasa (7/1/2019).

Salah satu hal utama yang jadi sorotan dalam hasil FGD ini adalah ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi masalah klasik. Sejauh ini kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan belum optimal.

Demer menegaskan ketimpangan tidak hanya menyengsarakan masyarakat di Bali Timur, Bali Barat dan Bali Utara, tapi juga menyengsarakan masyarakat di daerah yang pertumbuhannya tinggi.

“Sudah lama ketimpangan pertumbuhan ekonomi ini jadi masalah klasik. Di Denpasar misalnya kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi tinggi. Kalau tidak diimbangi daya beli maka masyarakat akan melarat,” ujar Demer yang juga Wakil Ketua DPD Komisi VI DPR RI ini.

“Masyarakat tidak mampu mengimbangi kenaikan harga, tapi berat juga menurunkan gaya hidup. Solusi paling cepat adalah menjual rumah dan pindah ke pinggiran ke daerah Gianyar atau Tabanan. Itu yang banyak terjadi di Denpasar,” papar Demer.

Dampak lainnya masyarakat Bali juga bisa saja lebih memilih transmigrasi ke luar Bali. “Kalau sampai masyarakat transmigrasi ini salah kita pemimpin,” tegas Anggota Fraksi Golkar DPR RI ini.

Karenanya harus ada kebijakan dan penganggaran yang tepat dari pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pertumbuhan ekonomi ini. “Pertumbuhan tanpa pemerataan tidak ada artinya,” kata Demer.

Catatan Kritis untuk Pemerataan Pembangunan Bali

Walaupun perkembangan situasi dan kondisi
ekonomi internasional yang masih stagnan dan hal ini berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi nasional (tahun 2018 sebesar 5,17 %) dan triwulan ke-3 tahun 2019 sebesar 5,02 %, tetapi untuk pembangunan ekonomi di wilayah Provinsi Bali tahun 2018 dan triwulan ke-3 tahun 2019 tercapai sebesar 5,34% (di atas capaian pertumbuhan ekonomi nasional)

Catatan kritis yang berhasil gali melalui FGD adalah diharapkan semua pihak terkait bekerja keras secara komprehensif untuk bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target RPJMD 2019 (6,4%) bahkan apabila memungkinkan mencapai 7% mengingat tingkat infasi tetap konsisten pada 3,5%.

Artinya, apabila tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 6% – 7% dikurangi 3,5% infasi maka hal itu akan berdampak secara positif untuik meningkatkan kesejahteraaan masyarakat Bali.

Di samping meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali yang juga harus diperhatikan adalah memperkecil tingkat gini ratio sampai dengan di bawah 0,35%, sehingga kesenjangan yang ada bisa dipersempit, yang berarti pula pemerataan pembangunan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Bali.

Untuk mencapai kedua hal tersebut di atas yakni
pertumbuhan ekonomi 6-7% dan memperkecil tingkat gini ratio hasil FGD Golkar Bali merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, mendorong peningkatan konsumsi dan daya beli masyarakat dengan cara menekan infasi, dan meningkatkan nilai tukar petani, merealisasikan tingkat upah minimum regional (UMR) serta menjaga ketersediaan suplai kebutuhan pokok masyarakat pada hari-hari biasa maupun pada hari-hari besar keagamaan.

Diharapkan juga agar mulai dikaji dibentuk Lembaga Usaha Penyangga Stabilitas Kebutuhan Pokok yang ditugaskan oleh Pemprov Bali.

Kedua, mendorong investasi di Bali Utara, Timur dan Barat. Untuk itu, Pemprov Bali perlu membuat kebijakan moratorium (menghambat) investasi di Bali Selatan hingga tercapai pemerataan.

Pemprov Bali juga perlu membuat kebijakan anggaran dengan memberikan porsi lebih pada tiga wilayah itu untuk mendorong percepatan pemerataan pembangunan

Ketiga, mendorong dan meningkatkan secara maksimal investasi daerah melalui sistem pelayanan terpadu perizinan yang cepat, murah dan pelayanan profesional. Lalu memangkas birokrasi yang menghambat di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, serta menegakkan regulasi secara konsisten dan kepastian hukum.

Di balik keberhasilan pembangunan ekonomi dengan indikator yang melebihi keberhasilan secara nasional, terdapat persoalan menurunnya investasi. Sehingga perlu solusi untuk mendorong iklim investasi dengan regulasi yang sederhana yaitu melalui omnibus law dan memperpendek rantai birokrasi.

Keempat, meningkatkan kemampuan belanja pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota melalui peningkatan kemampuan sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang sah dan tidak memberatkan masyarakat dengan cara memperjuangkan kontribusi pariwisata.

Lalu memperjuangkan revisi UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, memperjuangkan revisi UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Kemudian memperjuangkan maksimal terwujudnya UU tentang Provinsi Bali, serta memperjuangkan penyisihan dan distribusi pajak hotel dan restoran (PHR) melalui Pemerintah Provinsi Bali.

Kelima, mendorong peningkatan ekspor daerah melalui pengembangan potensi ekspor daerah di bidang pertanian antara lain buah-buahan seperti manggis dan lain-lain, vanili Bali, produk
industri olahan dan maksimalisasi fungsi dan
peranan Bandara Ngurah Rai sebagai Bandara
Cargo yang menangani ekspor.

Bangun Bandara Buleleng, Hingga Atasi Kemacetan

Keenam, sektor penerbangan, kapasitas dan daya tampung Bandara Ngurah Rai sudah mencapai titik maksimal, sedangkan kemungkinan menambah Run Way sangat mustahil.

Oleh karena itu perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh untuk memperpanjang runway dengan mempertimbangkan berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan serta menindaklanjuti realisasi pembangunan Bandara Udara di Kabupaten Buleleng.

Ketujuh, di bidang pariwisata, jumlah wisatawan yang datang tidak linier dengan pendapatan PHR (Pajak Hotel Restoran). Sehingga perlu dilakukan pendataan terhadap perizinan hotel dan restoran secara akurat, dan selanjutnya menertibkan hotel dan restoran dan
villa yang tidak berizin.

Kedelapan, di bilang SDM, sangat penting dilakukan peningkatan kualitas SDM dengan menguasai teknologi untuk meningkatkan daya saing menuju penerapan teknologi 4.0 bahkan teknologi 5.0.

Di samping hal-hal tersebut di atas, mengingat keseimbangan struktur ekonomi Bali sangat timpang di mana sektor primer 14,50%, sekunder 18,80 % dan tersier 69,71 % disarankan agar dilaksanakan pengkajian secara komprehensif untuk mewujudkan keseimbangan baru dalam struktur ekonomi Bali.

Hal ini dilakukan melalui peningkatan peranan sektor primer dengan peningkatan kualitas produk pertanian dan teknologi pertanian, segera mewujudkan lembaga penelitian dan pengembangan (research and development) di bidang pertanian.

Lalu meningkatkan peranan sektor sekunder melalui peningkatan industri pengolahan hasil pertanian yang modern dan ramah lingkungan serta mewujudkan quality tourism.

“Terkait persoalan ketimpangan antar wilayah, terobosan yang dilakukan Gubernur Bali dengan membangun shortcut Denpasar-Singaraja kita apresiasi, namun di sisi lain, kelancaran akses Denpasar – Karangasem dan Denpasar – Gilimanuk sangat perlu diwujudkan dengan pembangunan shortcut,” ungkap Demer.

Dalam mengatasi kemacetan lalu-lintas, perlu segera dibangun underpass di persimpangan jalan yang sangat krodit dan juga segera bisa diwujudkan ketersediaan angkutan umum (public transport) dengan akses hingga ke pemukiman penduduk. (wid)