Oleh:
Ketut Alit Pratiwi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret

Denpasar, (Metrobali.com) –

Pembangunan nasional selalu membutuhkan berbagai sektor salah satunya adalah sektor pembangunan kesehatan. Sektor pembangunan kesehatan ini menjadi sektor yang menjadi pusat perhatian dari awal tahun karena adanya sebuah virus Covid – 19 yang sudah masuk ke Indonesia dari bulan Maret 2020. Dalam pembangunan kesehatan ini dibutuhkan sebuah komunikasi yang efektif untuk memberikan informasi agar mencapai kepuasaan atas pelayanan dari sektor kesehatan dan menghindari permasalahan atau hambatan dalam komunikasi organisasi kepada khalayak.

Dalam perkembangan teknologi yang semakin canggih mengakibatkan penyebaran informasi menjadi tidak terkontrol. Hal ini mengakibatkan informasi yang memiliki kredibilitas yang terpercaya tertutupi dengan informasi yang kurang kredibilitasnya. Pada kondisi seperti ini diharapkan komunikator kesehatan dapat segera memberikan penjelasan dalam sebuah kasus. Salah satunya yang terjadi baru – baru ini  di DKI Jakarta pada bulan September 2020.

Berawal dari kesalahan pembacaan data mengakibatkan pengambilan keputusan untuk kembali PSBB total di DKI Jakarta. Satgas Nasional Covid- 19 segera menyoroti kehebohan tersebut. Dilansir dari news.detik.com, Wiku mengatakan “ruang isolasi atau ICU itu kan pendataannya belum real time, pendataan keterisiannya belum real time, belum interoperabilitas dari data atau sistem tentang keterisian tempat tidur rujukan COVID belum ada. Akibatnya, tidak punya informasi tentang mana yang isi penuh mana yang tidak, berapa yang terisi penuh. Modelnya masih manual, ditanya satu – satu gitu. Meskipun katanya ada sistem rujukan terpadu, kalau tidak diisi setiap saat, kan akhirnya kita nggak punya informasi soal itu,” kata Wiku saat dihubungi, Sabtu (12/9/2020).

Dalam penyampaiannya, Wiku juga mengatakan bahwa rujukan dari RS ke RS yang lainnya belum terdata dengan baik. Semua masih dilakukan dengan manual dengan cara menelpon dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Dengan kondisi data yang belum terintegrasi dan tidak efektifnya sebuah komunikasi berujung pada kesalahan informasi terkait ketersediaan ruangan pada RSUD rujukan Corona di DKI Jakarta.

Beberapa dampak dari kurang efektifnya sebuah komunikasi telah terjadi pada kasus yang sudah penulis paparkan yaitu pertama, adanya kesalahpahaman dalam pembacaan data okupansi RS, yang dimaksud kesalahpahaman disini adalah perbedaan pemahaman antara organisasi kesehatan dengan pihak pembuat keputusan PSBB di DKI Jakarta. Kedua, menimbulkan kesalahan informasi dikarenakan model untuk keterisian tempat tidur di RS rujukan masih dengan cara manual yang membuat tidak pastinya informasi yang didapat terkait jumlah kamar. Ketiga, memberikan dampak negatif kepada masyarakat karena menimbulkan ketakutan dengan informasi bahwa kamar di RS rujukan penuh berarti pasien bertambah banyak dan terakhir menimbulkan konflik yaitu dengan pengambilan keputusan untuk melakukan PSBB kembali di tengah – tengah ekonomi masyarakat DKI Jakarta sudah mulai turun menyebabkan banyak masyarakat yang tidak setuju bahkan memprotes dengan keputusan PSBB kembali.

Langkah yang dilakukan oleh Wiku selaku juru bicara Satgas Nasional Covid 19 atau komunikator kesehatan dalam hal ini memang dapat dikatakan terlambat karena keputusan PSBB telah diputuskan sebelum Wiku mengklarifikasikan kasus tersebut. Tetapi sebagai seorang juru bicara atau komunikator dalam sebuah organisasi kesehatan tindakan Wiku sudah tepat untuk segera menyampaikan alasan bagaimana kondisi tidak akuratnya sebuah data di baca. Wiku juga menyarankan untuk tidak terlalu menyeroti kapasitas rumah sakit melainkan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan yang sudah dianjurkan oleh pemerintah dan juga untuk selalu menjaga kesehatan.