Bogor (Metrobali.com)-

Sistem dan nilai kearifan lokal yang hidup dan diyakini oleh masyarakat adat, sangat sejalan dan dapat dijadikan rujukan dalam praktek Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD). Namun dalam implementasinya perlu diperkuat dengan dasar hukum yang  memberi penghormatan, perlindungan dan pengakuan terhadap sistem dan nilai adat di Indonesia.

Demikian terungkap dalam acara Sosialisasi dan Konsultasi Rancangan Strategi REDD+ yang diselenggarakan oleh Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD Plus) Indonesia bekerjasama dengan UNDP, yang mengundang puluhan perwakilan masyarakat dan organisasi masyarakat adat dari seluruh Indonesia, Minggu, 5 Agustus 2012 di Bogor.

Dalam kesempatan ini, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan yang sejak awal turut mengawal isu REDD+ menegaskan,’’FPIC ( Free and Prior Informed Concent) telah menjadi mandat kesepakatan internasional  yang mewajibkan pelaksanaan proyek REDD+ memenuhi  hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal atas  FPIC. Karena masyarakat adat dan masyarakat lokal yang akan menerima dampak dari implemtasi REDD+ diposisikan sebagai subyek utama dalam FPIC. Terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan,’’tegasnya.

Sementara Ketua Pokja Strategi Nasional Satgas REDD Plus Mubarik Ahmad dalam paparannya mengatakan, ada lima pilar strategis yang menjadi fokus bahasan yaitu: 1). Kelembagaan dan Proses, 2). Kerangka Hukum dan Peraturan, 3). Program-program Strategis, 4). Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja 5). Pelibatan Para Pihak. Diharapkan sosialisasi dan kajian Strategi Nasional REDD Plus ini dapat membuka peluang perubahan atas tata kelola kehutanan yang lebih baik di Indonesia.

Di sela-sela pertemuan tersebut peserta dari Bali, Nengah Widya Antara yang berkesempatan hadir dalam sosialisasi ini mengatakan, dalam kehidupan masyarakat adat Bali prinsip-prinsip yang tertuang dalam Strategi Nasional REDD+ ini,  sesungguhnya secara turun temurun sudah di praktekan dalam keseharian adat dan budaya di Bali, papar Widya Antara yang hadir mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Bali.

Lebih jauh Widya Antara mengatakan, REDD+ penting untuk diketahui dan dikaji dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat adat. Apalagi hal ini sejalan dengan program unggulan  Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali hasil Pesamuhan Agung  III MDP yang digelar pada tanggal 15 Oktober 2010 lalu yaitu; pentingnya mempertahankan “Jiwa” Desa Pakraman atau “Jiwa Bali” yang berspirit agama Hindu serta diakuinya secara tegas Desa Pakraman sebagai subyek hukum berdasarkan undang-undang atau aturan yang berlaku, jelasnya.

Dalam tiga tahun terakhir skema REDD di Indonesia telah dipraktekan di beberapa wilayah,  antara lain; Kalimantan dan Sulawesi. Isu ini terus bergulir seiring dengan menguatnya upaya-upaya adaptasi dan mitigasi akibat  adanya pemanasan global. MN-MB