Ngelawang Barong di Bali

BALI tiada hari tanpa kegiatan ritual yang mempunyai kaitan erat dengan seni guna memberikan vibrasi dan sinar kedamaian bagi umat manusia.

Seperti saat ini, umat Hindu merayakan Galungan sebagai hari kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (keburukan), yakni pada Rabu (21/5), dan sepuluh hari kemudian, Sabtu (31/5), Hari Raya Kuningan.

Selama sepuluh hari antara Galungan, hari raya besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali, hingga Hari Raya Kuningan itu ditandai dengan pementasan kesenian Barong, atau jenis kesenian sakral lainnya melalui pentas “ngelawang” berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tradisi “ngelawang” yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara “niskala” (abstrak/tidak terlihat) mengusir orang-orang yang bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.

Eksotisme sebuah pentas seni komunal masing-masing di depan pintu/gerbang rumah penduduk frekuensinya semakin berkurang, namun masih tetap dilakukan masyarakat setempat, khususnya anak-anak seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP), tutur dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Kadek Suartaya, SS Kar, MSi.

Seni “ngelawang” selain menyuguhkan hiburan yang diyakini mampu memberi vibrasi kesucian, dengan harapan masyarakat terhindar dari marabahaya, penyakit atau hal-hal lain yang tidak diinginkan.

Pementasan yang unik dan menarik itu masih dilakukan sebagian besar masyarakat di wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Denpasar dan Gianyar.

Panggung pentas yang berpindah-pindah, bahkan masuk gang dan rumah penduduk, meskipun hingga kini masih lestari, namun semakin jarang, padahal pentas seni nomaden itu pada tahun 1980-an, mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga ritual Kuningan.

Seni ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-religi kuat.

Bentuk perlindungan Kadek Suartaya, kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu menjelaskan, antara Galungan dan Kuningan pada era tahun 1980-an benda-benda keramat yang disimpan di pura seperti barong dan rangda diusung ke luar dari tempat suci berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa.

Kegiatan ritual yang melibatkan seluruh warga masyarakat desa adat itu dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat setempat.

Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bahkan warga yang dapat memungut bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya sebagai jimat bertuah.

Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan hingga Hari Suci Kuningan. Namun dalam perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.

Dalam tradisi ngelawang Galungan hingga Kuningan itu, bentuk-bentuk seni “balih-balihan” seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan.

Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.

Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun santai.

Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas.

Dengan demikian hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu.

Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi di bawah pohon besar yang rindang, pementasan barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari arja hadir di jalan umum, bahkan di tengah keramaian pasar.

Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks sakral-magis agaknya semakin redup, padahal tahun 1980-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar.

Rumah-rumah penduduk didatangi “sekaa” atau grup/kelompok Barong Kedingkling dan figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh seisi rumah maupun tetangga.

Kedatangannya diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman “merajan”, tempat suci keluarga. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.

Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diperkirakan ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.

Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.

Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (keburukan), tutur Kadek Suartya. Sutika/MB