orangutan

Jakarta (Metrobali.com)-

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera melakukan penguatan konservasi keanekaragaman hayati menyikapi peningkatan ancaman kepunahan orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) akibat semakin hilangnya habitat alami.

“Kita punya target meningkatkan 10 persen populasi 25 satwa terancam punah salah satunya orangutan dalam RPJM 2015-2019. Berkenaan dengan itu kepala balai, baik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam maupun Balai Taman Nasional sudah dikontak untuk melakukan penguatan konservasi keanekaragaman hayati,” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Dahono Adji di Jakarta, Kamis (4/6).

Pengutan konservasi, menurut dia, dilakukan dengan secara berkelanjutan melakukan survei dan evaluasi habitat dan populasi, melakukan upaya peningkatan populasi yang terancam punah, aktif ikut dalam setiap kegiatan berkaitan dengan konservasi yang dilakukan berbagai pihak, aktif menangani konflik manusia–satwa, terus melakukan edukasi kepada masyarakat, dan mengoptimalkan pagu Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) untuk mengatasi ancaman kepunahan.

Ia mengatakan kurangnya koordinasi dalam mengatasi konflik manusia dengan satwa masih sering terjadi. Padahal, jika koordinasi dilakukan pihak BKSDA, masyarakat, pihak swasta sejak awal konflik dapat lebih dicegah dan dihindari.

Edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya konservasi orangutan dan satwa lain yang terancam punah harus lebih ditingkatkan. “Di sini peran NGO, termasuk TNC (The Nature Conservancy–red) menjadi penting. Karena tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat, bayangkan masih ada budaya mengkonsumsi satwa dilindungi di beberapa daerah termasuk kalimantan,” ujar Dahono.

Penyelamatan orangutan dari ancaman kepunahan, ia mengatakan tidak mudah jika mengingat 70 persen habitatnya saat ini berada di luar kawasan lindung.

“Saya pikir lebih mudah mengubah kawasan lindung menjadi APL (Area Penggunaan Lain–red) jaman sekarang ini ketimbang merubah kawasan hutan produksi menjadi lindung. Akan lebih mudah kalau pemilik HTI (Hutan Tanaman Industri–red) atau pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan–red) mau menyediakan area konservasi, bukan kawasan konservasi loh ya tapi area konservasi, itu beda,” ujar dia.

Sementara itu, Program Manager TNC Niel Makinuddin mengatakan yang menjadi ancaman bagi orangutan saat ini adalah perubahan hutan menjadi perkebunan dan tambang. Degradasi kawasan hutan sebagai habitar orang utan yang mencapai 1,5 persen per tahun di Sumatera dan dua persen per tahun di Kalimantan.

Selain itu, lanjutnya, ancaman bagi populasi orangutan yakni kebakaran hutan dan perburuan.

Rekomendasi TNC untuk menyelamatkan populasi dan habitat orangutan khususnya di Kalimantan, ia mengatakan yakni memperbaiki kebijakan rencana tata ruang wilayah, termasuk di antaranya perijinan sumber daya manusia dan koridor–connectivity.

Rekomendasi lain yang diberikan, lanjutnya, yakni kebijakan perlindungan orangutan dengan menggunakan panduan perbaikan praktik pengelolaan (Better Management Practices/BMP) perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta pengelolaan konflik manusia dan orangutan.

Sedangkan rekomendasi ketiga yang diberikan yakni memperkuat penegakan hukum.

Berdasarkan catatan TNC luas area indikasi habitat orangutan yang tumpang tindih dengan HTI, kebun kelapa sawit, dan HPH di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencapai 103,917 kilometer persegi (km2).

Sedangkan area yang diindikasi habitat orangutan dan tumpang tindih dengan aktivitas terkait pertambangan, mulai dari studi awal, studi kelayakan, eksplorasi, konstruksi, eksploitasi, produksi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencapai 42,572 km2. AN-MB