Prof Windia

Denpasar (Metrobali.com)-

Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia menilai, upaya pengentasan kemiskinan sering kali hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan kelompok masyarakat yang kondisinya berada di bawah garis kemiskinan.

“Hal itu akibat pemahaman dan pengertian yang sangat sederhana yakni sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup sehari-hari,” kata Prof Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Sabtu (25/4).

Ia mengatakan, padahal kemiskinan sebenarnya masalah yang sangat kompleks, baik dari faktor penyebab, maupun dampak yang ditimbulkannya.

Kemiskinan dibedakan menjadi tiga jenis yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut jika hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.

Kemiskinan relatif apabila seseorang telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedangkan miskin kultural jika seseorang memiliki sikap tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, meskipun pihak lain telah berusaha membantunya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat masyarakat miskin di daerah ini mencapai 195.950 orang atau 4,76 persen dari jumlah penduduk hingga September 2014, meningkat 10.750 orang atau 0,23 persen dibandingkan pada Maret 2014 tercatat 185.200 orang (4,53 persen).

Meskipun orang miskin di Bali bertambah, namun tetap menempati urutan kedua tingkat nasional orang miskin terkecil di Indonesia, setelah DKI Jakarta. Penduduk miskin di Bali persentasenya 4,76 persen dari jumlah penduduk, sementara DKI Jakarta sedikit lebih kecil.

Windia menjelaskan, BPS dalam mendapatkan data tersebut menggunakan pendekatan wilayah dan pendekatan rumah tangga. Pendekatan wilayah, merupakan pendekatan untuk memperkirakan penduduk miskin melalui kantong-kantong kemiskinan yang berupa desa miskin (desa tertinggal).

Pendekatan wilayah berdasarkan asumsi bahwa penduduk miskin dapat diidentifikasi melalui fasilitas (infrastruktur), kondisi jalan, akses terhadap alat transportasi, sarana kesehatan, pendidikan, serta kondisi sosial ekonomi yang mendukung kehidupan masyarakat di wilayah yang diamati.

Jika infrastruktur wilayah tersebut tergolong berkualitas rendah, maka besar kemungkinan tingkat kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut tergolong rendah.

Demikian pula sebuah desa yang mempunyai infrastruktur kurang memadai diasosiasikan sebagai desa kantong kemiskinan. Sementara pendekatan rumah tangga mengacu kepada ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan minimum hidupnya. Perhitungan jumlah penduduk miskin dengan pendekatan rumah tangga pada prinsipnya adalah mengukur ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan non-pangan yang paling minimal, ujar Prof Windia. AN-MB