PENGEMIS

Pengemis bukanlah fenomena langka untuk dijumpai di negeri ini, bahkan hampir di seluruh negeri baik ibu kota maupun perkampungan, bukanlah hal yang sulit untuk menemukan seorang pengemis. Meski keberadaan DinSos dan sederetan program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, tak ayal keberadaan pengemis selalu mewarnai kehidupan masyarakat negeri ini dengan berbagai modus dan kepentingan yang ada. Masih kita ingat di awal Agustus lalu saat ramai dibincangkan setelah wali kota Bandung mengunggah dalam akun instagram dan twitter nya aksi tipu-tipu seorang pengemis yang mengaku bernama Alexander. Ia tertangkap basah mengemis dengan pura-pura buntung tangan di Jalan Otista Kota Bandung. Masalah pengemis memang bukan barang baru. Mereka berupaya mengais rupiah dengan memanfatkan rasa simpati orang. Para pengemis ini punya banyak akal seperti pura-pura buntung hingga yang mengantongi puluhan juta rupiah. Saat ini pengemis tak mesti identik dengan orang miskin, entah dengan apa menggambarkannya namun sering kali alasan kemiskinan adalah pemicu utamanya. Inilah yang menjadikan Keberadaan Pengemis – pengemis saat ini menjadi fenomena yang tidak lagi kasuistik bahkan lebih tepat jika dikatakan terjadi secara sistemik. Betapa tidak, sangat sulit untuk membedakan mana pengemis yang benar-benar miskin dan mana pengemis yang pura-pura miskin. Keberadaan mereka pun semakin hari semakin banyak seolah mereka adalah barang yang diproduksi massal oleh mesin pabrik.

Makin memprihatinkan, mari kita ingat saat kita mampu merasakan hidup dengan menggunakan norma terutama norma agama, mengemis saja sudah merupakan pilihan hina untuk mencari penghidupan, apalagi disertai penipuan. Namun lebih ironinya lagi, tipu menipu bukan hanya merasuki dunia pe-’ngemis‘-an saja, melainkan juga dilakukan pembuat vaksin dan serum palsu, ijazah palsu untuk menjadi pejabat, KTP palsu untuk mendukung parpol yang ikut Pemilu. Banyak masyarakat yang tengah sesat dalam berfikir, menganggap desakan kebutuhan hidup yang makin sulit bisa melegalkan menipu untuk memenuhi kebutuhan dan mendapatkan kekayaan. Inilah sistem kapitalisme yang memproduksi kemiskinan massal di satu sisi, dan jurang kesenjangan ekonomi di sisi lain. Sistem ini menggerus semua nilai yang dimiliki manusia, mendorong masyarakat menggunakan segala cara untuk meraih keuntungan pribadi, meskipun dengan merugikan/mengorbankan yang lain. Dan lebih parah lagi saat kebebasan menjadi asas setiap perilaku, yang berujung pada dominasi tingkah laku yang cenderung pada kejahatan dan kerusakan, hukum dan peradilan tak mampu lagi membendung semua ini, bahkan mungkin sengaja dibuat tak mampu. Demokrasi di negeri ini justru telah menyuburkan perilaku menipu dan menghasilkan negeri penipu. Inilah fenomena masyarakat sakit di negeri ini. Masyarakat yang Bingung dengan orientasi, nilai dan pilar-pilar yang harus ditegakkan, semua itu terjadi karena mereka bingung untuk mendefinisikan dan menentukan batasan dari istilah “kebebasan” yang selama ini mereka telan mentah mentah meski ada yang mengungkap kebebasan yang bertanggung jawab, lalu bertanggung jawab pada siapa? Tuhan, Agama? Bukankah agama di negeri ini hanya untuk diakui saja dan bukan untuk di taati? Semua itu adalah bentuk-bentuk penerapan dari sekulerisme barat yang sejak masuknya penjajahan di negeri ini kita telah dicekoki oleh sekulerisme dalam seluruh system kehidupan masyarakat kita. RED-MB

Penulis : Tri Ayuning S, S. Si