air

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengelolaan sumber mata air dan distribusinya ke seluruh warga yang membutuhkan di berbagai daerah dinilai perlu diperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memperluas akses air kepada masyarakat.

“Dengan banyaknya permasalahan sumber daya air yang sudah sangat kompleks seperti meningkatnya pertumbuhan penduduk, banyaknya alih fungsi lahan, industri, dan pencemaran lingkungan, menyebabkan kuantitas dan kualitas sumber daya air semakin berkurang. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (1/6).

Arie mengingatkan bahwa dalam pengelolaan sumber daya air ada lima pilar yaitu konservasi, pendayagunaan, pengendalian daya rusak air, data dan informasi sumber daya air dan pemberdayaan peran serta masyarakat.

Ia juga mengemukakan, sebenarnya kerja sama dan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten/kota sudah sangat sering didengungkan sehingga hal ini akan terus dilakukan agar permasalahan sumber daya air dapat diminimalkan.

“Dengan potensi air yang dimiliki Indonesia, 3.900 miliar meter kubik, seharusnya ketersediaan air secara kuantitas dan kualitas dalam keadaan cukup untuk kita semua,” katanya.

Pemerintah, ujar dia, sebenarnya sudah mengatur yaitu dengan perizinan terkait pengambilan air juga sudah bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dalam hal investasi di bidang sumber daya air, Arie mengatakan bahwa yang menjadi batasan untuk hal tersebut adalah BUMD dan BUMN Indonesia dapat berpartisipasi untuk mengelola sumber daya air sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta selalu bekerjasama dan berkoordinasi dengan Kemenpupera.

Sebelumnya, Kemenpupera menegaskan pengeboran sumber mata air yang dilakukan oleh perusahaan swasta mesti taat aturan dan kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya air. “Seharusnya mereka mengambil air sesuai dengan izin, bukan sesuai dengan hasil yang didapat dari pengeboran,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenpupera Djoko Mursito.

Ia mengemukakan, pemberian izin pemerintah untuk memanfaatkan sumber air melalui pengeboran oleh pihak swasta bukan berarti menguasai sumber air namun sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk itu, ujar dia, diperlukan fungsi pengendalian dan fungsi pelaksanaan dalam pengelolaan pengeboran air tersebut.

Djoko mencontohkan ada perusahaan air minum kemasan yang mendapat izin mengebor dengan kedalaman 18 meter, namun mereka mengambil air dengan kapasitas 80 liter/detik sesuai dengan hasil pengeboran.

“Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah menyurati Menteri Hukum dan HAM untuk menanyakan kelanjutan kerja sama sebelum pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dari situ, dinyatakan bahwa kerja sama masih berlaku hanya perlu penyesuaian dan pengawasan,” katanya.

Sedangkan pencabutan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dinilai tidak bakal mengganggu pemenuhan kebutuhan air minum karena izin terkait dengan sistem penyediaan air minum bagi masyarakat tetap berada di tangan pemerintah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), akses aman air minum sampai dengan 2013, baik melalui jaringan perpipaan dan non-perpipaan, telah mencapai 67,7 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu air minum yang terpenuhi melalui perpipaan 20 persen. AN-MB