Firman-Noor

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor memperkirakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang disetujui DPR menjadi undang-undang berpeluang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Putusan MK tentang pemilu serentak 2019 bisa menjadi pintu masuk gugatan RUU Pilkada. Tapi ada kemungkinan gugatan itu ditolak MK,” kata Firman Noor dihubungi di Jakarta, Jumat (26/9).

Firman mengatakan, putusan MK tentang pemilu serentak diasumsikan pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah dilakukan serentak.

Karena itu, hal tersebut bisa menjadi pintu masuk gugatan mengenai RUU Pilkada. Apalagi, banyak yang tidak puas dengan pembahasan RUU tersebut.

“Mungkin saja yang mengajukan gugatan dari kalangan parlemen. Namun yang paling besar kemungkinannya dari LSM. Para pendukung Jokowi kemungkinan juga akan ikut memperjuangkan dan menyuarakan gugatan itu,” tuturnya.

Mengenai kemungkinan gugatan itu ditolak, Firman mengatakan dari sisi konstitusi RUU itu tidak ada yang bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, MK sebelumnya juga termasuk pihak yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

DPR akhirnya menyetujui RUU Pilkada untuk disahkan menjadi undang-undang dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD. Keputusan itu diambil melalui voting setelah musyawarah yang beberapa kali diskors untuk lobi antarfraksi tidak mencapai kata mufakat.

Sidang paripurna DPR untuk menyetujui RUU tersebut berjalan cukup alot dan berlangsung hingga dini hari.

Fraksi Partai Demokrat sempat mengusulkan pemilihan langsung dengan 10 persyaratan, salah satunya adalah calon kepala daerah diseleksi terlebih dahulu di DPRD.

Usulan itu disambut positif beberapa fraksi yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat seperti Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Hanura da Fraksi PKB.

Namun, fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menilai usulan persyaratan dari Fraksi Partai Demokrat itu terlambat karena seharusnya disampaikan saat pembahasan tahap pertama di tingkat panitia kerja. Paripurna tidak mungkin bisa memasukkan usulan itu ke dalam draft RUU.

Fraksi PAN bahkan menyatakan bahwa lobi sebelumnya sudah menyepakati akan dilakukan voting dengan dua opsi, yaitu pemilihan langsung atau melalui DPRD. Fraksi Partai Demokrat hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan saja, tanpa ada penambahan opsi menjadi pemilihan langsung bersyarat.

Ketika terjadi hujan interupsi menanggapi usulan Fraksi Partai Demokrat, Ketua Sidang Priyo Budi Santoso kemudian memutuskan pembahasan akan dilanjutkan dengan voting dan mengetuk palu.

Sikap Priyo itu kemudian menyulut hujan interupsi semakin banyak. Aria Bima dari Fraksi PDI Perjuangan dan Abdul Kadir Karding dari Fraksi PKB meminta keputusan itu ditarik kembali. Suasana menjadi semakin ricuh ketika sejumlah anggota DPR mendekati meja pimpinan sidang untuk menyampaikan protes.

Priyo kemudian memutuskan sidang diskors kembali untuk dilakukan lobi. Ketika skors dicabut, Fraksi Partai Demokrat diberi kesempatan menyampaikan pendapat.

Pada kesempatan itu, Fraksi Partai Demokrat menyatakan ingin bersikap netral dan akhirnya memutuskan keluar dari persidangan atau “walk out”.

Keputusan akhirnya diambil dengan suara terbanyak dan memutuskan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.  AN-MB