Prof Windia

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat masalah pertanian dari Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia menilai, keberadaan subak di Bali membutuhkan proses yang sangat panjang sekitar 393 tahun hingga akhirnya kini mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD).


“Oleh sebab itu organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang tidak ada duanya di belahan dunia hendaknya mendapat perhatian dari semua pihak agar tetap dapat dilestarikan,” harap Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Sabtu (12/7).

Ia mengatakan, keberadaan sistem subak di Bali erat kaitannya dengan peranan para raja yang memegang pemerintahan pada zaman kerajaan di Bali.

Keberadaan sistem subak di Pulau Dewata didahului dengan keberadaan sistem pertanian yang telah berkembang di Bali sejak tahun 678. Dengan demikian berarti bahwa keberadaan sistem subak di Bali memerlukan waktu sekitar 393 tahun sejak perkembangan sistem pertanian.

Windia menjelaskan, keberadaan subak di Bali sejak tahun 1071 dan peranan raja-raja dalam sistem irigasi ditemukan dalam penelitian arkeologi yang menunjukkan adanya subsidi berupa pembebasan bagi petani yang bekerja di lahan beririgasi.

Subsidi seperti itu, tidak diberikan kepada petani di lahan kering. Pada zamannya, para raja memberikan izin bagi pembukaan sawah baru dengan memanfaatkan kawasan hutan yang ada di sekitar kawasan sawah yang sudah eksis.

Selain itu juga memberikan izin untuk mengalirkan air sungai ke lahan sawah yang telah dibuat oleh petani. Karena pengaruh raja yang sangat kuat pada sistem pertanian dan sistem irigasi (subak) sehingga raja juga merangkap sebagai pimpinan adat di kawasan tersebut.

Dengan demikian subak maupun lembaga adat yang berlandaskan sosio-kultural masyarakat setempat, sehingga sistem irigasi subak juga dapat disebutkan sebagai suatu lembaga adat.

Lembaga tersebut berfungsi untuk mengelola air irigasi bagi kesejahteraan masyarakat (petani). Karena saat itu Agama Hindu yang berkembang yang didasari atas konsep Tri Hita Karana (THK) yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian subak secara otomatis juga menerapkan konsep THK dalam pengelolaan sistem irigasinya, ujar Prof windia. AN-MB