Teuku

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah mengatakan jawaban yang telah diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait tudingan korupsi yang dilansir situs Wikileaks.org sudah sangat tegas, bahwa kontrak internasional pencetakan uang sudah jauh dari penyimpangan.

“Jawaban pak SBY pada tanggal 31 Juli 2014 lalu sebenarnya sudah sangat tegas, di mana kontrak yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden SBY dan Presiden Megawati telah dikelola secara baik oleh manajemen negara, sesuai prosedur hukum nasional yang berlaku, dan jauh dari penyimpangan seperti yang ditulis oleh Wikileaks,” ujar Reza melalui pesan singkat, di Jakarta, Sabtu (2/8).

Reza yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Democracy, Diplomacy and Defence (IC3D) menilai pada intinya SBY melalui pernyataannya telah menegaskan bahwa sudah ada konsolidasi antara pemerintahan terdahulu, kini, dan mendatang, untuk senantiasa mengedepankan prosedur hukum dalam penyelenggaraan kontrak internasional termasuk ihwal pencetakan uang.

Namun demikian Reza memandang kasus tudingan korupsi pencetakan uang ini hendaknya menyadarkan manajemen nasional untuk tidak lagi melakukan pencetakan uang di luar negeri.

Dia juga menyampaikan bahwa meskipun kritik dari luar negeri tersebut sebenarnya biasa dalam hubungan internasional, namun waktu penyampaiannya tidak etis, karena mengganggu stabilitas psikologis bangsa Indonesia.

Sebelumnya, pada 29 Juli 2014 situs antikerahasiaan Wikileaks.org merilis perintah pencegahan pemerintah Australia untuk mengungkap kasus dugaan korupsi para tokoh dan pemimpin Asia.

Dua di antaranya yang ikut disebut yakni Presiden Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yakni terkait pencetakan uang di luar negeri.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers di kediamannya Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, telah meminta agar Pemerintah Australia memberikan penjelasan mengenai informasi yang dikeluarkan Wikileaks terkait sinyalemen adanya perintah mencegah penyidikan atas dugaan korupsi sejumlah pejabat di negara Asia.

“Berita yang dikeluarkan oleh Wikileaks sesuatu yang menyakitkan, saya mengikuti apa yang dilaksanakan Australia, Menlu laporkan pada saya setelah komunikasi dengan Duta Besar RI di Canberra dan Duta besar Australia,” kata Presiden.

Presiden Yudhoyono merasa perlu untuk segera melakukan klarifikasi atas berita tersebut dan mengumpulkan sejumlah keterangan mengenai hal tersebut dari pejabat terkait.

“Berita seperti ini cepat beredar dan kemudian karena sangat sensitif, karena menyangkut kehormatan dan harga diri baik Ibu Megawati, dan saya sendiri, maka saya ambil keputusan untuk melakukan sesuatu tindakan dan mengeluarkan pernyataan ini. Karena yang jelas, pemberitaan ini saya nilai mencemarkan dan merugikan nama baik Ibu Megawati dan saya sendiri, menimbulkan spekulasi dan kecurigaan,” kata Presiden.

Dari keterangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, maka Presiden Yudhoyono mendapatkan sejumlah penjelasan bahwa memang benar Indonesia pernah mencetak uang di Australia pada 1999 melalui NPA (Note Printing Australia).

Organisasi itu berada di bawah Bank sentral Australia, dan yang dicetak adalah 550 juta lembar uang pecahan Rp100.000.

Namun demikian, kata Presiden, kewenangan untuk memutuskan pencetakan uang dan tempat pencetakan uang berada di tangan Bank Indonesia (BI).

“Hal itu menjadi kewenangan Bank Indonesia, atas dasar atau sesuai Undang-Undang Bank Indonesia dan peraturan yang berlaku. Sebenarnya, baik Ibu Mega dan saya sendiri pada 1999 belum menjadi presiden. Poin saya adalah memang itu kewenangan BI, siapapun presidennya, tidak terlibat dalam arti mengambil keputusan menetapkan kebijakan dan mengeluarkan perintah presiden,” demikian Presiden Yudhoyono.

Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga menegaskan tidak adanya keterlibatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam kasus Securency yang dikabarkan melibatkan sejumlah tokoh politik di Asia Pasifik, layaknya diberitakan Wikileaks.

Kedubes Australia dalam siaran persnya mengakui bahwa ada perintah pencegahan penyebarluasan informasi yang bisa memberi kesan keterlibatan tokoh politik senior tertentu dalam korupsi di kawasan Asia Pasifik.

Pemerintah Australia memandang bahwa perintah pencegahan tetap merupakan cara yang terbaik untuk melindungi tokoh politik senior dari risiko sindiran yang tidak berdasar.

“Ini merupakan kasus rumit yang telah berlangsung lama yang menyangkut sejumlah besar nama individu. Penyebutan nama-nama tokoh tersebut dalam perintah itu tidak mengimplikasikan kesalahan pada pihak mereka.

Pemerintah Australia menekankan bahwa Presiden dan mantan Presiden Indonesia bukan pihak yang terlibat dalam proses pengadilan Securency,” catat Kedubes Australia.

Selain itu, Kedubes Australia mengemukakan, “Kami menyikapi pelanggaran perintah pencegahan ini dengan sangat serius dan kami sedang merujuknya ke kepolisian.” AN-MB