Para demonstran melakukan unjuk rasa menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump di lokasi penembakan massal di kota Dayton, Ohio, Rabu (7/8).

Dua penembakan massal mengerikan di Amerika yang menewaskan 31 orang telah membangunkan kembali pertarungan politik dan legislatif di Washington terkait pengawasan senjata, isu yang selama beberapa dekade sulit diselesaikan dan rumit serta sering diperdebatkan para pemimpin negara namun jarang mencapai konsensus.

Presiden AS Donald Trump meninggalkan ibukota negara Rabu (7/8) untuk berkunjung ke kota Dayton, Ohio, barat tengah Amerika dan kota perbatasan barat daya, El Paso, Texas, di mana pembantaian akhir pekan lalu berlangsung.

Trump menyatakan ia mendukung pemeriksaan latar belakang untuk pembeli senjata yang oleh rekan-rekannya dari Partai Republik di masa lalu diblokir di Kongres. Tetapi presiden tidak menunjukkan minat untuk melarang penjualan senjata serbu seperti yang digunakan oleh orang-orang bersenjata dalam pembantaian paling akhir di Amerika.

Beberapa penentang Presiden Trump dari Partai Demokrat mengatakan mereka ingin melarang penjualan senjata api berkapasitas tinggi kepada publik Amerika, seperti larangan yang masa berlakunya berakhir pada tahun 2004 dan tidak diperpanjang.

Trump tidak merinci pemeriksaan latar belakang pembeli senjata seperti apa yang akan didukungnya. Setelah pembunuhan massal sebelumnya, ketika 17 murid dan guru ditembak mati pada tahun 2018 di SMU Florida – ia juga mengatakan mendukung pemeriksaan latar belakang, tetapi kemudian mundur setelah menghadapi tentangan dari pelobi utama senjata Amerika, Asosiasi Senjata Nasional atau NRA (National Rifle Association).

Setelah pembunuhan orang tak bersalah dan melukai puluhan lainnya di Texas dan Ohio, para anggota Kongres langsung menyampaikan dukungan bagi RUU yang disebut “Red Flag”, sebuah UU yang membolehkan penegak hukum bertindak apabila ada tanda-tanda seseorang bermaksud melakukan pembantaian.

RUU yang juga diajukan Trump itu akan memungkinkan pihak berwenang setempat di seluruh Amerika, setelah peninjauan yudisial, menyita senjata dari orang-orang yang berpotensi langsung membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain.

Tetapi beberapa analis senjata mengatakan RUU penting seperti itu – yang juga dikenal sebagai “perintah perlindungan risiko ekstrem” – mungkin lebih banyak mencegah bunuh diri daripada penembakan massal yang minggu ini telah membuat khawatir Amerika, negara di mana Amandemen Kedua Konstitusi menjamin hak individu untuk memiliki senjata. Undang-undang pengawasan senjata yang lebih luas bisa menghadapi tentangan keras di Kongres daripada sebuah undang-undang red flag.

DPR yang dikuasai Partai Demokrat menyetujui RUU pengawasan senjata yang lebih ambisius pada bulan Februari, yang mengharuskan pemeriksaan latar belakang untuk semua pembeli senjata, termasuk mereka yang melakukan pembelian online atau di pameran senjata.

Undang-undang yang diusulkan itu juga memperpanjang masa tunggu calon pembeli senjata apabila namanya muncul dalam sistem pemeriksaan instan. Tetapi RUU itu bahkan belum diperdebatkan di Senat yang dipimpin Partai Republik, di mana Ketua fraksi Mayoritas Mitch McConnell mengatakan tentangannya terhadap RUU itu. (my/jm) (VOA Indonesia)