Pemerintah Provinsi Bali tetap pada komitmennya dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Terkait dengan komitmen tersebut, Pemprov  proaktif dalam menindaklanjuti sejumlah temuan BPK RI, khususnya menyangkut Pengadaan Barang dan Jasa TA 2010, 2011 dan 2012. Demikian dijelaskan Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali Drs. I Ketut Teneng,SP,M.Si setelah berkoordinasi dengan Kepala Inspektorat Provinsi Bali AA. Gede Alit Sastrawan, Rabu (10/10).

Secara umum, Karo Humas Ketut Teneng mengapresiasi hasil pemeriksaan BPK. Menurutnya hal ini sejalan dengan komitmen Pemprov Bali dalam menciptakan sistem pengelolaan keuangan daerah yang bersih dan transparan.

Lebih lanjut dia mengurai, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, temuan BPK wajib ditindaklanjuti dalam kurun waktu 60 hari setelah hasil pemeriksaan itu disampaikan/diserahkan.  Dalam kurun waktu itu, tambah Teneng, pihaknya telah mengambil langkah-langkah penyelesaian. Bahkan untuk temuan yang menyangkut adanya kekurangan volume sebagian besar telah dapat ditarik dan disetor ke Kas Daerah Provinsi Bali.

Beberapa temuan yang sudah ditindaklajuti dengan menarik dan menyetorkannya ke Kas Daerah Provinsi Bali antara lain kekurangan volume pekerjaan jalan, kekurangan volume pengembangan sistem air minum, kekurangan volume penataan lingkungan kawasan Niti Mandala Renon, kekurangan volume pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi, kekurangan volume pekerjaan renovasi Art Centre.

Terhadap temuan kemahalan harga, Pemerintah Provinsi Bali memastikan tidak ada kemahalan harga dalam sejumlah pengadaan sebagaimana temuan pihak BPK. Menurut Teneng, dalam hal ini masih terdapat perbedaan pandangan dalam hal menafsirkan terjadinya kemahalan. Misalnya pada pengadaan e-government, pihak BPK RI melakukan perbandingan harga antara proses pengadaan melalui pihak ketiga dengan proses pengadaan secara swakelola.

Seharusnya, kata Teneng,  perbandingan dilakukan atas hal-hal yang sifatnya sepadan yaitu antara pihak ketiga dengan pihak ketiga lainnya.

Teneng lantas mengurai perbandingan harga pengadaan e-government antara menggunakan pihak ketiga dengan swakelola. Mengacu hasil perhitungan ASPILUKI (Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia), jika dengan pihak ketiga nilainya mencapai Rp. 5,562 milyar, sementara secara swakelola
sebesar Rp. 1,993 milyar. Sedangkan nilai kontrak Pemprov Bali Rp. 5, 653 milyar.

Dalam hal penafsiran kemahalan, BPK membandingkan nilai kontrak Pemprov Bali dengan harga swakelola sehingga didapat selisih mencapai Rp. 3,659 milyar. Seharusnya, tambah Teneng, BPK membandingkan nilai kontrak Pemprov dengan perhitungan harga ASPILUKI pihak ketiga dengan perbandingan Rp. 5,653 milyar : Rp. 5,562 milyar, sehingga selisihnya hanya berkisar Rp. 100 jutaan. “Hal itulah yang belum bisa kita terima dan masih perlu dikomunikasikan untuk mencapai satu pemahaman yang sama, termasuk juga dengan pengadaan lainnya yang dinilai kemahalan antara lain mobile screening system, pengadaan alat-alat berat, studio, closed circuit television dan instalasi listrik di Art Centre, ”imbuhnya.

Teneng juga memberi contoh perbandingan yang lebih sederhana dalam kehidupan  sehari-hari yaitu dalam membuat pakaian. “Tentu akan beda ketika kita membuat pakaian sendiri dengan membuatnya di penjahit (pihak ketiga) ternama yang sudah pasti hasilnya lebih bagus dan waktunya bisa kita atur,”
ungkapnya. Terkait pengadaan secara swakelola, menurut Teneng, Pemprov memang belum siap karena terbentur keterbatasan SDM, peralatan, kemampuan, sementara kita ingin hasil yang cepat. IKA-MB