KLUNGKUNG  kian semarak dengan berbagai bentuk alat peraga kampanye, dari baliho, spanduk hingga sticker bergambar pasangan calon memenuhi pemandangan pinggir jalan di kabupaten itu. Selintas terlihat motif kotak-kotak hitam putih mendominasi baliho dan berbagai alat peraga lainnya. Namun demikian harus dicermati ternyata motif kotak-kotak hitam putih tersebut bukan hanya menjadi ciri khas satu pasangan saja, melainkan diaplikasikan oleh dua pasangan berbeda. Mengapa demikian dan apa implikasinya terhadap pemilih?

Berbicara mengenai alat peraga, masih segar di ingatan kita mengenai perebutan warna merah sebagai latar belakang baliho dan foto kandidat di kertas suara saat pilgub Bali 2013 lalu yang menjadi polemik panjang antar tim pemenangan dua kandidat ketika itu. Polemik tersebut tidak saja menyiratkan perebutan simbol yang tertuang dalam warna merah, namun usaha distorsi komunikasi sehingga berujung pada anomi pemilih. Anomi atau kebingungan dalam mengenali asal partai kandidat benar-benar terasa di desa-desa yang tidak terjangkau media informasi. Sebagai contoh, di daerah basis PDIP yang jauh dari jangkauan media yakni kecamatan Selemadeg ketika itu dilakukan survei, hasilnya menunjukkan bahwa calon pemilih mengira PDIP mencalonkan dua kandidat dalam pilgub 2013.

Jika mengacu pada asumsi di atas, penggunaan warna dan motif yang sama oleh lebih dari satu pasangan calon bukan saja karena motif tersebut memiliki nilai estetika yang tinggi, namun lebih kepada usaha mendistorsi branding yang dilakukan lawan, dengan harapan pemilih menjadi bingung. Hal ini beralasan mengingat dari temuan survei sebelumnya, diketahui bahwa pemilih Klungkung banyak yang mengenyam pendidikan hingga lulus SD, yakni mencapai 36,4%. Lulusan SMP 24,4%, SMA 36,2%, dan sisanya sempat mengenyam pendidikan tinggi. Dengan kontur masyarakat yang demikian, agaknya memang mudah untuk didistorsi dengan penggunaan simbol yang sama. Apalagi jumlah pembaca yang membaca koran setiap hari di Klungkung hanya mencapai 4,1%. Akibatnya, pemilih lebih banyak mengenal kandidat melalui media-media luar ruang. Terlebih lagi keemat pasangan pada pertarungan kali ini bukanlah kandidat incumbent. Jadi mereka berada pada garis start yang sama di mata pemilih.

Ketika para kandidat berada pada garis start yang sama, maka pertarungan berada pada tiga fase utama yaitu berebut agar dikenal. Setelah dikenal diharapkan masyarakat suka pada kandidat. Fase terakhir setelah disukai oleh masyarakat maka ujungnya adalah dipilih. Peran besar alat peraga ada pada fase memperkenakan kandidat. Maksimalisasi kedikenalan diharapkan akan berujung pada angka keterpilihan yang tinggi. Oleh sebab itu, masing-masing tim pemenangan pasangan calon harus memilih strategi komunikasi yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan pada masyarakat diterima dengan utuh. Pemilihan strategi itu termasuk pemilihan motif, warna, foto dan kalimat dalam baliho kandidat.

Jika menilik dari aspek-aspek tersebut di atas maka sejak awal terlihat pasangan Suwirta-Kasta adalah yang paling mempersiapkan strategi komunikasinya. Pemilihan motif kotak-kotak hitam putih pada design khusus pakaian kandidat dengan latar putih dan bingkai warna tri datu pada baliho hingga eksekusi pemasangan baliho dan pemilihan titik pasangnya mencerminkan bahwa tim pasangan ini telah berpikir dan bekerja secara terstruktur dan jauh lebih lama dibanding kandidat lainnya.

Meski demikian, bukan berarti kandidat lain tak memiliki konsep yang jelas. Pasangan Anom-Regeg misalnya. Dua pekan lalu, baliho dan alat peraga kampanye kandidat ini relatif jarang ditemui dengan design yang terkesan menjiplak baliho kandidat PDIP pada pilgub lalu. Namun kini foto pasangan ini semarak menghiasi sudut-sudut jalanan dan tempat umum di Klungkung dengan design yang apik, berlatar belakang merah dan dihiasi motif kotak-kotak hitam putih. Tim dari pasangan ini juga sadar bahwa selain design dan foto yang menarik, pesan dalam alat peraga itu penting. Hal tersebut terlihat dalam pilihan kalimat pada alat peraga kampanye yang baru. Ada janji untuk kestabilan harga sembako, penciptaan lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur yang menurut riset terakhir masih menjadi masalah utama bagi masyarakat Klungkung.

Sementara itu pasangan Bagus memilih konsisten dengan warna kuning dan jargon Klungkung Mahotama sebagai pesan utama dalam alat peraga kampanye mereka. Ada yang menarik juga dari pola yang diterapkan pasangan ini. Alat peraganya jarang ditumpangi muatan Caleg. Kecenderungannya melekatkan pasangan ini dengan figur Tjokorda Anom Putra, Bupati pertama Klungkung yang juga ayah dari Cok Bagus Oka. Harapannya adalah memenangkan hati pemilih tua yang pernah merasakan kepemimpinan Tjokorda Anom Putra.

Di lain pihak, pasangan Cok Raka-Tika Winawan terlihat berbeda dari pasangan-pasangan lainnya. Corak pakaian yang dikenakan berlainan, ekspresi pada foto juga tak sama antara calon bupati dan wakilnya. Namun dalam alat peraga kampanyenya RASA sering menampilkan foto-foto kegiatan sosial yang telah mereka lakukan. Ini menarik karena biasanya pola seperti ini diterapan oleh pasangan incumbent untuk mempropagandakan keberhasilan pemerintahannya.

Mencermati materi komunikasi kandidat khususnya alat peraga yang mudah diamati membuat kita mungkin untuk menilai kinerja tim masing-masing kandidat yang menjadi salah satu infrastruktur penting dalam pemenangan. Konsep, jumlah dan pilihan tempat pemasangan yang baik mencerminkan dua hal utama yaitu logistik yang cukup dan struktur tim yang baik. Dua hal tersebut adalah syarat mutlak bagi satu pasangan yang bersiap memenangkan pertarungan.

Oleh: Kadek Dwita Apriani
Dosen Ilmu Politik FISIP Univeritas Udayana