Tahun 1998, salah satu tahun perjuangan demokrasi di Indonesia, runtuhnya rezim Suharto berganti dengan era demokrasi. Mahasiswa saling bahu membahu untuk meruntuhkan rezim ototarian Suharto dan berharap sebuah rezim yang baru yang muncul, yang mampu membawa kehidupan Bangsa Indonesia ini menjadi lebih baik.

Sistem demokrasi telah membuka celah kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat, ide, gagasan, dan opini. Demokrasi  akan tumbuh baik jika kemerdekaan berpendapat itu disertai sikap bijak, kekeluargaan, dan mengandung nilai-nilai musyawarah. Ada konsensus yang tidak boleh dikesampingkan, ada nurani yang harus dikedepankan.

Melihat hal tersebut, saat pemilu di berbagai tingkatan (legislatif dan eksekutif) mulai membumi di Negara ini, pada dasarnya ini merupakan iklim baik bagi tumbuhnya tunas-tunas demokrasi yang telah disemai saat reformasi  lahir. Bagaimana tidak? Aspirasi yang terpasung tiba-tiba meluap. Hampir  tiga dekade kemerdekaan politik dihentikan baik dalam konsep mau pun praktik.

Hanya saja, ada kalanya imbas dan efek domino dari kemerdekaan berpendapat tersebut sering melintasi kerangka dan acuan bagaimana etika kehidupan bernegara harus dipegang teguh. Sering sekali kemerdekaan itu timbul karena memang kita telah diberi kebebasan untuk apa pun tanpa batasan-batasan nilai sekali pun. Hingga pada prakteknya, kemerdekaan dan kebebasan rakyat dalam mengemukakan pendapat pun baru menyentuh kebebasan sebagai sebuah benda.

Jika fenomena seperti ini menjadi dominan maka sebetulnya yang telah dilahirkan oleh gerakan rakyat di akhir kepemimpinan Soeharto adalah revolusi.  Bukan menata ulang nilai-nilai yang telah ada melainkan menghapuskan nilai-nilai tersebut lalu diganti dengan nilai baru: semangat kemerdekaan.

Demokrasi tidak bebas nilai. Sejak Plato hingga era Paolo Preire, demokrasi hidup dalam nilai-nilai yang dipenuhi : semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, dan universal. Apa yang dipandang baik adalah baik, sementara keburukan tetap disebut buruk.

Pembiasan demokrasi terjadi ketika segala sesuatu ditentukan oleh jumlah, bukan kekuatan gagasan dan kualitas dari konten demokrasi tersebut. Konten prima dari demokrasi adalah rakyat. Tidak heran jika Alcuin mengatakan “Vox populi vox Dei” suara rakyat adalah suara tuhan. Hanya saja, ketika rakyat dalam iklim pembiasan demokrasi hidup, mereka hanya akan dipandang sebagai kumpulan dan jumlah angka yang harus dihitung, semakin besar jumlah mereka maka semakin terbuka lebar peluang untuk meraih kekuasaan. Ini jelas pandangan yang kabur dari demokrasi.

Setiap pemilu, penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, sering mengajak kepada masyarakat pemilih agar: 1. Menggunakan hak politik mereka sebagai warga Negara, 2. Memilih peserta / calon pasangan dengan nurani, 3. Tidak melakukan kampanye hitam dengan menjelekkan calon lain.

Ini dimaksudkan, agar pemilu benar-benar memiliki kualitas bukan sekedar kuantitas. Agar rakyat sebagai entitas terpenting dari demokrasi menjadi aktor penting dalam perhelatan demokrasi lima tahunan ini. Supaya rakyat tidak semata dipandang sebagai objek/ yang dibendakan dalam bentuk angka-angka, kemudian tersusun rapi menjadi titian tangga bagi seseorang untuk menjadi pemimpin di negeri ini.

Jebakan kuantitatif ini sering melupakan – hampir semua pihak-. Seperti contoh: Jika rakyat memang benar di dalam konstitusi Negara disebut sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, identitas mereka pun harus benar-benar dibenarkan tidak hanya selama pelaksanaan sensus dan pengadaan e-ktp (akhir-akhir ini). Pendidikan politik harus dituntaskan oleh partai-partai politik.

Kita akan sibuk dan menyoal secara serius data rakyat (pemilih) ketika jumlah hak pilih dengan data yang diumumkan oleh penyelenggara tidak sama dengan jumlah yang didapatkan oleh kita di lapangan. Padahal ada yang lebih penting dari sekedar mengungkit perbedaan jumlah yaitu, bagaimana cara agar rakyat berpihak kepada kebenaran yang kita yakini, bukan kebenaran yang saya yakini.

Politisi akan turun ke lapangan, saat Politisi membutuhkan rakyat, sementara waktu yang cukup efektif selama lima tahun (5 tahun ke belakang) disia-siakan dengan tidak mengenal tetangga mereka sekali pun. Padahal, setiap partai politik diberikan fasilitas oleh pemerintah , misalkan Dana Bantuan Partai Politik Tahunan dalam bentuk Hibah APBN yang ditentukan oleh jumlah perolehan suara partai. Ini hal baik untuk melakukan pembenahan partai dan kaderisasi jika jumlah anggaran yang diberikan oleh pemerintah  berbanding lurus dengan maksimalisasi pendidikan politik .

Idealnya, demokrasi tidak sekedar angka, meski pun angka itu penting. Demokrasi harus dibangun oleh kedaulatan utuh seluruh rakyat rakyat. Agar kebebasan mengemukakan gagasan sebagai hal utama dalam demokrasi tidak tergerus oleh kebebasan melampiaskan hasrat. Inilah pentingnya pemilu dilangsungkan guna menyokong tumbuhnya kedaulatan rakyat tersebut. Ke depan, demokrasi akan lahir bukan sebatas pada  kumpulan angka dan jumlah, namun dibangun di atas landasan berpijak: kualitas rakyat yang berdaulat. Aspirasi yang keluar dari rakyat yang berdaulat adalah ekspresi yang keluar dari “lubuk hati yang terdalam”,

Redaksi Metrobali.com