Wicipto Setiadi

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerintah menolak gugatan tujuh perkara pengujian formil dan materil terkait dengan Perppu Pemilihan Kepala Daerah dan Perppu Pemerintah Daerah.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan,” sebagaimana dikatakan oleh Wicipto Setiadi ketika membacakan keterangan Presiden dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (16/12).

Wicipto yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menjadi perwakilan pemerintah dalam sidang pengujian formil dan materil Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada), serta Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945.

Para pemohon menilai peraturan tersebut telah dikeluarkan oleh Presiden tanpa adanya kegentingan memaksa maupun kekosongan hukum, yang merupakan syarat dikeluarkannya Perppu oleh Presiden.

Para pemohon juga menilai bahwa pembentukan peraturan tersebut tidak memenuhi syarat konstitusional kegentingan yang memaksa yang disyaratkan oleh UUD 1945 dan juga Putusan MK Nomor 138/PUU – VII/2009.

Sementara itu Wicipto mengatakan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2014 dan Perppu No. 2 Tahun 2014 adalah wujud respon pemerintah dalam hal ini adalah Presiden, dalam menyikapi perkembangan dinamika hukum, dinamika tata pemerintahan dan dinamika sosial yang berkembang di setiap lapisan masyarakat.

“Di mana perkembangan tersebut terindikasi mengarah pada keadaan genting dan memaksa, sehingga banyak aksi penolakan terhadap UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada dan beberapa pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” papar Wicipto.

Meskipun para pemohon mengakui bahwa kondisi kegentingan yang memaksa memang menjadi kewenangan Presiden untuk menafsirkan, namun subjektifitas tersebut harus memiliki dasar objektifitas yang telah disyaratkan oleh konstitusi.

Lebih lanjut Wicipto mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga unsur penting yang dapat menimbulkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu; unsur ancaman yang membahayakan, unsur kebutuhan yang mengharuskan, dan unsur keterbatasan waktu yang tersedia.

“Presiden mempunyai hak subjektif untuk menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Subjektifitas kewenangan Presiden tersebut selanjutnya akan dinilai objectivitasnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat,” jelas Wicipto.

Oleh sebab itu pemerintah berpendapat bahwa berdasarkan amanat ketentuan Pasal 22 UUD 1945, secara formil pembentukan Perppu merupakan kewenangan Presiden dan oleh karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. AN-MB 

activate javascript