Nusa Dua (Metrobali.com)-

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu menegaskan jika pemerintah berupaya membuat pedoman arsitektur Indonesia.

“Pemerintah pusat, tentu bukan hanya kami (Kemenparekraf), tapi juga PU, KLH dan lainnya, bagaimana kita membuat semacam pedoman gedung ataupun ruang publik, atau perencanaan arsitektur yang memerhatikan lingkungan,” kata Mari di sela “15 th Asian Congress of Architects”, di Nusa Dua, Bali, Selasa 29 Oktober 2012.

“Pedomannya harus menyediakan ruang publik, apakah itu taman atau fasilitas rekreasi dan lainnya. Jadi arsitek itu bukan cuma desain, tapi juga konsep yang harus diberi nilai,” tambah Mari.

Menurut Mari, jika ditilik dari aspek ekonomi kreatif, maka seorang arsitek bukan sekedar membuat desain. Dalam karya arsitektur seseorang, imbuh Mari, juga tercermin kreatifitas, konsep dan gagasan terhadap ruang.

“Yang harus ditegaskan arsitek bukan tukang gambar. Arsitek itu mempunyai kreativitas, mempunyai kekayaan intelektual dalam membuat desain. Jadi bukan sekedar gambar,” tegas dia.

Untuk membuat desain dan gambar, sambung Mari, arsitek juga harus memikirkan keadaan setempat. “Jadi bukan saja aspek estetiknya, bentuknya, tapi juga fungsionalnya. Fungsionalnya itu harus menjawab tantangan lingkungan hidup, bagaimana energinya efisien, bagaimana udaranya, fentilasi supaya sehat,” katanya.

“Kedua dia harus menyediakan ruang publik. Jadi gedung itu tidak hanya gedung untuk dimanfaatkan oleh orang yang berada di dalamnya, tapi gedung itu juga harus mampu menyediakan ruang publik yang memadai untuk masyarakat,” tambah Mari.

Hal penting yang patut dipertimbangkan oleh seorang arsitek, menurut Mari adalah tetap memerhatikan budaya, kearifan lokal dan iklim setempat.

“Bagaimana semua itu dilakukan dengan tetap menjaga tradisi dan kearifan lokal setempat maupun sesuai dengan iklim dan sesuai dengan tempat itu,” tekan dia.

Bangunan arsitektur di Indonesia sendiri, Mari melanjutkan, beberapa di antaranya sudah mengarah ke situ. “Tapi ini juga harus ada peran, baik pemerintah pusat maupun daerah untuk bisa memastikan hal itu. Seperti contoh Bali. Bali sudah ada ketentuan tinggi bangunan tak boleh melebihi pohon kelapa, setidaknya setinggi 15 meter. Aturan itu berlaku sejak tahun 1974. Itu inovatif,” urai dia.

Selain itu, Mari berharap desain suatu kota juga harus dirancang untuk mengantisipasi bencana. Kota yang paling rawan bencana adalah pelabuhan.

“Dari 10 kota rawan bencana, 9 ada di Asia. Indonesia tidak termasuk. Adanya di India, Vietnam, China. Tapi itu juga perlu kita antisipasi. Kita sangat pengalaman dengan hal itu,” imbuh dia. BOB-MB