Jakarta, (Metrobali.com)

Tahun 2021 diyakini membawa perubahan ke arah yang positif, termasuk untuk perekonomian global.  Hal tersebut antara lain disebabkan adanya tren positif dari kinerja perekonomian di sebagian besar
negara pada triwulan terakhir 2020. Beberapa lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan ekonomi global tumbuh di kisaran 4%-5,2% pada 2021.

Menurut OECD Economic Outlook (Desember 2020), faktor utama pendorong ekonomi global di tahun ini antara lain adalah percepatan distribusi vaksin, kebijakan kesehatan yang komprehensif sebagai langkah mitigasi sebelum vaksinasi, stimulus fiskal yang mendorong daya beli, kebijakan moneter yang

akomodatif, reformasi struktural yang mendukung pemulihan ekonomi, dan kerja sama internasional dalam penanganan pandemi.

Pemulihan ekonomi global tersebut juga sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia. PMI Manufaktur berada di level ekspansi (51,3) per Desember 2020. Sebelumnya, pada November 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) meningkat menjadi 92 dari 79 pada Oktober 2020. Hal ini diperkuat oleh impor barang modal dan bahan baku yang meningkat pula.

Impor tersebut tentunya untuk mendukung proses produksi dari industri-industri yang ada di negeri ini, terutama produksi dari barang ekspor. Nilai ekspor Indonesia pada Desember 2020 mencapai US$16,54 miliar, dan ini tertinggi sejak Desember 2013. Kemudian, sepanjang 2020, ekspor pertanian  dan industri pengolahan masing-masing meningkat 13,98% dan 2,95%. Hal itu didukung oleh pulihnya harga komoditas internasional, yaitu kelapa sawit (CPO), batu bara dan karet alam.

“Kondisi ini menciptakan surplus sebesar US$21,74 miliar pada neraca perdagangan Indonesia di 2020, dan angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2011. Apabila dilihat secara bulanan, neraca
perdagangan Desember 2020 surplus US$2,10 miliar atau surplus 8 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Hal ini utamanya didorong oleh surplus non migas (US$2,56 miliar) dan defisit migas (minus
US$0,46 miliar),” jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika menjadi  narasumber dalam webinar Kompas 100 CEO Forum After Lunch Discussion, Selasa (19/1).

Selain itu, Rupiah mencatat penguatan tertinggi (sebesar 13,8% sejak 31 Maret 2020) dibandingkan negara peers. Kinerja IHSG pun sudah kembali rebound dari posisi terburuknya pada Maret 2020,
bahkan saat ini sudah lebih dari posisi awal Januari 2020, sebelum pandemic Covid-19 melanda Indonesia, di mana pada penutupan bursa 18 Januari 2020 tercatat sebesar 6.390.

Pada triwulan IV 2020 lalu, ekonomi Indonesia diproyeksikan mengalami perbaikan dan akan berlanjut  hingga pada 2021 ini hingga tumbuh di kisaran 4,5%-5,5%. Prompt indikator menunjukkan kinerja industri dan kegiatan dunia usaha juga akan semakin baik di triwulan I 2021.

“Meskipun saat ini masih  ada pembatasan sosial, namun akan kita dorong dalam waktu setahun ini,” ujar Menko Airlangga.
Di Desember 2020 lalu, Bank Dunia merekomendasikan 4 (empat) hal untuk mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia, yakni: (1) Memprioritaskan kesehatan public; (2) Monitoring dan melanjutkan  bantuan kepada rumah tangga dan korporasi, terutama masyarakat 40% terbawah; (3) Reformasi fiskal; dan (4) Reformasi struktural.

Menko Airlangga kemudian menuturkan soal faktor kunci yang dapat mengakselerasi pertumbuhan
ekonomi nasional di 2021. Pertama adalah menjaga konsumsi rumah tangga untuk mendorong daya beli masyarakat, sebab hal ini menyumbang 57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Untuk kelas menengah atas dapat didorong kepercayaannya kembali kepada kondisi perekonomian nasional, sehingga mereka mau membelanjakan uangnya lagi. Sedangkan, untuk kelas menengah
bawah dapat dijaga daya belinya dengan menggencarkan program bantuan sosial, perlindungan  sosial, maupun penguatan UMKM (misalnya melalui KUR).

Lalu, dilakukan percepatan reformasi (baik fiskal maupun struktural), antara lain melalui UU Cipta Kerja, reformasi anggaran, dan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Penyusunan Daftar
Prioritas Investasi (DPI) atau positive list juga diharapkan akan membantu penambahan investasi ke dalam negeri.

Menko Airlangga juga mengatakan jika vaksin akan dapat menjadi game changer untuk memulihkan kondisi perekonomian nasional. Jumlah penduduk yang harus divaksinasi, berdasarkan skenario herd
immunity mencapai sekira 181,5 juta (70% dari total penduduk Indonesia). Sasaran vaksinasi mencakup penduduk usia di atas 18 tahun dan komorbid (yang terkontrol).

Sebanyak 1,2 juta vaksin (vial) telah selesai dikirimkan ke setiap provinsi di Indonesia pada kurun waktu 3-15 Januari 2021. Selanjutnya, Dinas Kesehatan Provinsi akan mendistribusikan ke masing- masing kabupaten/kota untuk dilakukan proses vaksinasi.

“Untuk tahap pertama periode vaksinasi, dari Januari-April 2021, ditargetkan untuk tenaga kesehatan di 34 provinsi yang berjumlah sekitar 1,3 juta, kemudian petugas publik 17,4 juta, dan lansia 21,5 juta,” ucap Menko Airlangga.

Namun, untuk lansia (60 tahun ke atas) akan divaksinasi setelah mendapatkan data hasil uji klinis tahap 3 tentang keamanan vaksin bagi mereka. Kemudian, untuk tahap kedua (April 2021-Maret 2022) akan dilakukan vaksinasi terhadap masyarakat rentan yaitu mereka yang tinggal di daerah zona merah yang diperkirakan sebanyak 63,9 juta orang, dan disusul masyarakat lainnya sejumlah 77,4 juta orang,
dengan pendekatan klaster sesuai ketersediaan vaksin. (rep/iqb/hls)

Editor : Sutiawan