sby 1

Jakarta (Metrobali.com)-

Hari Minggu (14/9) yang biasanya digunakan masyarakat untuk menikmati hari libur akhir pekan, ternyata digunakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengumpulkan sejumlah menteri di Kantor Presiden.

“Negara tidak pernah mengenal hari libur,” kata Presiden Yudhoyono.

Pada kesempatan itu Presiden juga mengucapkan terima kasih atas kehadiran para peserta rapat terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (15/9).

Presiden mengumpulkan sebagian pejabat Kabinet Indonesia Bersatu II itu dalam rangka membahas perkembangan dinamika ISIS menyusul ditangkapnya sejumlah WNA di Palu.

“Agenda rapat hari ini memikirkan apa yang perlu kita lakukan di dalam negeri berkaitan dengan perkembangan dan dinamika ISIS yang sekarang menjadi topik di tingkat internasional,” kata SBY.

Menurut Presiden, “kegaduhan” terkait ISIS telah terjadi di tengah masyarakat dunia sehingga Indonesia lebih bagus untuk proaktif menawarkan kontribusi apa yang perlu dilakukan untuk menghentikan tragedi kekerasan dari mana pun datangnya.

SBY juga menyampaikan apresiasinya terhadap tindakan kepolisian yang berhasil menggagalkan gerakan-gerakan yang masih ingin melakukan aksi-aksi kekerasan.

Untuk itu, Presiden Yudhoyono juga mengajak berbagai pihak untuk jangan sampai terlena dan tepat waspada karena gerakan kekerasan tidak hanya bisa terjadi di Timur Tengah, tetapi juga di dalam negeri ini. “Saya mengajak untuk mari kita dengan serius memastikan negara dalam keadaan yang baik,” ujar Presiden.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto dalam jumpa pers seusai rapat terbatas itu juga menegaskan Indonesia mesti mewaspadai dampak serangan dengan menggunakan kekuatan militer (hard power) kepada gerakan ISIS karena hal itu dapat terkait dengan terorisme internasional.

“Dampak penggunaan ‘hard power’ tidak hanya Suriah, tetapi mungkin bisa berdampak di negara lain khususnya seperti di Indonesia,” kata Menkopolhukam Djoko Suyanto.

Menurut Djoko, sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan yang keras terkait dengan ISIS pada bulan Agustus lalu, ternyata gerakan tersebut di kawasan Timur Tengah tidak mereda, tetapi terindikasi semakin meningkat intensitasnya.

Hal itu mengakibatkan sejumlah negara barat memutuskan melakukan pendekatan dengan cara-cara “hard power”, seperti dilakukan serangan udara pada lokasi-lokasi yang disinyalir terdapat kegiatan ISIS.

Namun, ujar dia, dampak dari kegiatan serangan udara itu juga berpotensi mengakibatkan munculnya korban di pihak masyarakat sipil yang tidak diinginkan.

Menkopolhukam mengemukakan bahwa “hard power” dapat mengakibatkan kekuatan ISIS diredakan atau malah semakin mengeras dan menimbulkan kekerasan dalam bentuk sentimen-sentimen baru.

“Bisa-bisa gerakan terorisme internasional berkembang sebagai respons pendekatan ‘hard power’,” tukasnya.

Untuk itu, dia mengemukakan bahwa Indonesia telah melakukan langkah-langkah “soft power” yang telah dilakukan sejumlah elemen masyarakat guna sebagai tindakan pencegahan.

Namun, Menkopolhukam menegaskan bahwa apabila terdapat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum pasti akan menghadapi penegakan hukum yang tegas di Indonesia.

Pencerahan kepada Masyarakat Selain bertindak tegas kepada mereka yang merusak kerukunan dan melakukan tindakan-tindakan terorisme dan radikalisme, pemerintah juga akan terus memberikan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan bahayanya gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“Upaya-upaya penegakan ‘soft power’ yang telah dikoordinasi Menteri Agama akan terus dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan pimpinan umat untuk bersama-sama memberikan pencerahan agar tidak mudah terpengaruh kegiatan-kegiatan di ISIS,” kata Djoko.

Presiden juga menginstruksikan untuk bertindak tegas kepada pihak-pihak, baik yang merusak sendi kerukunan maupun yang bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah hidup masyarakat Indonesia.

Sebelumnya, Pemerintah RI menginginginkan persoalan ISIS dapat diselesaikan secara tuntas dan berjangka panjang.

“Cara-cara yang hanya menggunakan upaya kekerasan tidak akan langgeng dan berpotensi menciptakan masalah baru,” kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9).

Indonesia, ujar dia, selalu mengambil sikap dalam memecahkan masalah persoalan radikalisme seperti ISIS juga mesti melihat akar masalah seperti munculnya sikap-sikap intoleransi.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan bahwa penanganan masalah ISIS memerlukan rencana jangka panjang dan tidak bisa hanya secara militeristik.

Untuk itu, menurut dia, diperlukan kejelasan platform atau landasan yang dapat digunakan dalam kerja sama internasional guna mengatasi ISIS.

Menurut Kantor Berita AFP, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pada hari Sabtu (13/9) mengatakan bahwa Mesir berada pada garis depan menghadapi “terorisme” setelah dia melakukan pertemuan dengan para pemimpin negara itu untuk menggalang dukungan memerangi kelompok ISIS di Irak dan Suriah.

John Kerry mengemukakan bahwa tentara Mesir tidak ikut serta dalam satu koalisi militer menghadapi kelompok garis keras ISIS, tetapi bekerja sama erat dengan Amerika Serikat menyangkut kontraterorisme.

Pemerintah Mesir saat ini yang merupakan hasil kudeta militer juga sedang berjuang menghadapi kelompok garis keras Islam di semenanjung Sinai yang menyatakan dukungan mereka pada ISIS.

“Mesir berada di garis depan perang melawan terorisme, khususnya ketika melawan kelompok geris keras di Sinai,” kata Kerry dalam satu jumpa wartawan dengan Menlu Sameh Shoukri.

Perketat Napi Terorisme Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan untuk memperketat pengawasan napi terorisme karena disinyalir mereka yang bergabung dengan ISIS sebagian merupakan mantan napi kasus terorisme.

“Ada instruksi untuk membatasi kunjungan dan gerak-gerik para napi terorisme,” kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.

Menurut Djoko Suyanto, hal itu termasuk bagian dari arahan Presiden Yudhoyno kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pengetatan dan pengawasan napi terorisme yang ada di lembaga pemasyarakatan.

Hal tersebut, lanjutnya, karena terdapat laporan yang menyebutkan bahwa sejumlah WNI yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS adalah mereka yang telah menjalani masa hukuman sebagai narapidana dalam kasus terkait dengan terorisme.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah juga akan meningkatkan pengawasan kewaspadaan terhadap daerah-daerah yang dinilai sebagai kawasan “klasik” dari sumber-sumber gerakan radikal, seperti di Poso dan Ambon.

Sebelumnya, empat warga negara asing yang ditangkap polisi karena diduga terlibat jaringan ISIS diterbangkan ke Jakarta dari Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, Minggu (14/9) pagi.

Keempat warga asing yang di antaranya diduga berkewarganegaraan Turki itu terbang menggunakan pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 623.

Keempat warga asing itu berinisial AB, A, AB, dan AJ. Mereka dikawal ketat oleh delapan anggota polisi dari Mabes Polri ketika hendak masuk pesawat terbang.

Keempat warga asing itu akan diperiksa lebih lanjut ke Mabes Polri terkait dengan aktivitasnya di sejumlah daerah.

Mereka ditangkap di wilayah Kabupaten Parigi Moutong saat hendak menuju Kabupaten Poso pada Sabtu (13/9) sore.

Empat warga asing yang ditemani warga Indonesia itu hendak menuju Kabupaten Poso dengan diantar tiga warga Kota Palu bernama Saiful, Yudi, dan Irfan yang semuanya tinggal di wilayah Palu Utara. Tiga warga Kota Palu itu juga telah diamankan aparat keamanan.

Dengan beragam upaya yang telah dilakukan pemerintah diharapkan dapat mengatasi tindakan-tindakan kekerasan yang dapat timbul akibat dari gerakan radikalisasi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh kelompok ISIS.AN-MB