Ichsanuddin Noorsy

Jakarta (Metrobali.com)-

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy meminta pemerintah memperjelas ketentuan biaya produksi minyak dan gas bumi yang dikembalikan negara atau “cost recovery”.

“Belum ada ketentuan yang jelas tentang ‘cost recovery’. Mana biaya yang boleh masuk dan mana yang tidak,” katanya di Jakarta, Minggu (28/9).

Hal tersebut, lanjutnya, membuat belum ada kesamaan pemahaman antara SKK Migas, pemerintah, dan DPR soal “cost recovery”.

Ia mencontohkan, DPR tidak memiliki alasan yang jelas dan logis menurunkan biaya “cost recovery” RAPBN 2015 dari usulan 17,8 miliar dolar AS menjadi 16 miliar dolar, sementara di sisi lain target produksi minyak dinaikkan dari 845.000 menjadi 900.000 barel per hari.

Menurut Ichsanuddin, semestinya ketentuan “cost recovery” setidaknya memiliki lima kriteria acuan yakni logis, beralasan, bisa dipertanggungjawabkan, bisa diaudit dan menerapkan prinsip akuntabilitas publik.

“Kriteria tersebut sebaiknya dibuat dalam Peraturan Menteri Keuangan, sehingga ada acuan yang jelas dan bisa diaudit BPK,” ujarnya.

Dari kriteria-kriteria tersebut, tambahnya, maka “cost recovery” mesti diklasifikasikan setidaknya dalam lima aspek yakni kondisi sumur yakni apakah masih baru atau sudah tua.

“Kalau sumur tua, tentunya perlu biaya yang lebih tinggi,” katanya.

Lalu, klasifikasi lainnya adalah memerlukan teknologi tinggi atau tidak, keterlibatan sumber daya manusia yang diperlukan, peralatan yang dibutuhkan apakah dari dalam atau luar negeri, dan lokasi sumur apakah di darat atau laut.

“Bila semua itu diterapkan, maka saya pikir DPR dan pemerintah akan mempunyai persepsi sama dan jelas. Dengan demikian tidak ada dusta di antara kita,” katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, penerapan “cost recovery” memerlukan perbaikan tata kelola migas.

Menurut dia, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai landasan hukum lembaga pengelola migas sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

“Kalau buat UU, mungkin akan membutuhkan waktu lama. Jadi, sebaiknya keluarkan dulu perppu,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendukung iklim investasi migas dengan mengurangi hambatan yang ada.

“Bagaimana agar izin tidak terlalu banyak dan lama. Lalu, janganlah kontraktor dikenakan PBB (pajak bumi dan bangunan) saat masa eksplorasi, karena ada kemungkinan gagal,” katanya.

Rapat Badan Anggaran DPR dengan pemerintah pada Senin (22/9) memutuskan besaran “cost recovery” RAPBN 2015 sebesar 16 miliar dolar AS atau di bawah usulan 17,8 miliar dolar.

Sementara, target produksi minyak dinaikkan dari usulan 845.000 barel per hari menjadi 900.000 barel per hari. “Cost recovery” adalah biaya operasi –termasuk didalamnya investasi– kegiatan eksplorasi dan produksi migas yang ditalangi terlebih dahulu kontraktor sebelum nantinya diganti negara.

Kontraktor hanya dapat mengklaim “cost recovery” jika lapangan migas sudah berproduksi, sedangkan kalau gagal menemukan migas, maka biaya tidak diganti dan menjadi risiko kontraktor. AN-MB