gizi buruk

Jakarta (Metrobali.com)-

Untuk membangun satu bangsa yang besar, tentu memerlukan dukungan dari sumber daya manusia yang berkualitas.

Sebagai salah satu fondasi dalam pembangunan, sumber daya manusia juga harus memiliki karakter dan kemampuan menghadapi tuntutan dalam bidang sosial budaya dan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan bahwa membentuk manusia-manusia yang berkarakter dan unggul tersebut perlu kecukupan gizi sejak usia dini.

Pasalnya, kekurangan gizi pada usia dini akan berimplikasi pada perkembangan anak dan selanjutnya perkembangan potensi diri pada usia produktif.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, kata Puan, sebagai penjabaran dari visi dan misi Presiden, pembangunan manusia mengarah pada program peningkatan kualitas guna menghasilkan rakyat Indonesia unggul dengan meningkatkan kecerdasan otak dan kesehatan fisik melalui pendidikan, kesehatan, dan perbaikan gizi.

“Manusia Indonesia unggul tersebut diharapkan juga punya mental dan karakter yang tangguh dengan perilaku yang positif dan konstruktif. Oleh karena itu, pembangunan mental dan karakter menjadi salah satu prioritas utama pembangunan,” katanya.

Meski demikian, dia mengakui bahwa hingga saat ini terdapat berbagai permasalahan terkait dengan kecukupan nutrisi atau gizi di Indonesia.

“Masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu kemiskinan, kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, keluarga berencana, dan berbagai faktor terkait lainnya,” katanya.

Oleh sebab itu, permasalahan perbaikan gizi masyarakat merupakan upaya dari berbagai sektor yang perlu sinergi dan terkoordinasi.

Puan memperkirakan sekitar 52 persen atau 125 juta jiwa penduduk Indonesia berada pada tingkat kemampuan berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di bawah Rp500 ribu per orang per bulan.

Ia menambahkan bahwa pengeluaran masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan pada umumnya mencapai 20 persen.

“Bagaimana mungkin kelompok masyarakat 52 persen terbawah tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizinya apabila kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan hanya Rp100 ribu per orang per bulan atau hanya Rp3.300,00 per orang per hari?” katanya.

Masyarakat miskin, kata Puan, memiliki keterbatasan dalam memenuhi kecukupan gizi.

“Tidak saja terbatas, tetapi juga tidak berkualitas, yang rentan dengan penyakit dan infeksi. Upaya perbaikan gizi sangat erat kaitannya dengan penanggulangan kemiskinan,” katanya.

Target Pemerintah  Pemerintah menyatakan bahwa norma pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat serta tidak menciptakan ketimpangan sosial dan memberikan perhatian khusus pada peningkatan produktivitas rakyat kecil.

Maka, kata Puan, penyempurnaan dan penajaman program penanggulangan kemiskinan ke depan sangat mendesak dan harus dapat menyentuh akar persoalannya.

Di dalam RPJMN 2015–2019, kata dia, pemerintah telah bertekad untuk segera memperbaharui definisi dan metode pengukuran kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran dan tepat hasil.

Selain melalui program penanggulangan kemiskinan, upaya lainnya dalam menggerakkan percepatan perbaikan gizi, antara lain dengan menjamin pelayanan kesehatan ibu dan anak, mencegah pernikahan dini, dan membangun infrastruktur untuk pengadaan air bersih.

Selain itu, program ketahanan pangan rumah tangga kelompok masyarakat kecil, pendidikan hidup sehat pada anak-anak usia sekolah dasar, dan sosialisasi mengenai sumber gizi yang murah.

“Mengingat begitu banyaknya faktor dalam permasalahan perbaikan gizi, diperlukan koordinasi dan sinkronisasi kementerian dan lembaga terkait,” katanya.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan akan mengoordinasikan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.

Adapun target yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk perbaikan gizi masyarakat adalah tercapainya beberapa indikator penting, yaitu menurunnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, dari 359 menjadi 306 pada tahun 2019.

Kedua, menurunnya Angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, dari 32 menjadi 24 pada tahun 2019.

Ketiga, menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita dari 19,6 persen menjadi 17 persen pada tahun 2019.

Keempat, menurunnya prevalensi stunting atau pendek dan sangat pendek pada anak baduta atau di bawah dua tahun dari 33 persen menjadi 28 persen pada tahun 2019.

“Beberapa langkah konkret dan strategis yang telah dilakukan selama ini adalah pembentukan gugus tugas yang mewakili kementerian terkait,” katanya.

Selain itu, sosialisasi gerakan kepada para pemangku kepentingan pemerintah di pusat dan daerah, akademisi dan organisasi profesi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan mitra pembangunan internasioal.
Selain itu, pembentukan kelompok kerja penyusunan rencana aksi pangan dan gizi di pusat dan daerah, pendidikan gizi, advokasi dan diseminasi program serta intervensi spesifik gizi dalam penangan maslah gizi mikro dan makro melalui pemberian makanan tambahan dan fortifikasi pangan.

“Sesuai dengan tema Hari Gizi Nasional, yakni ‘Bersama Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi’, Pemerintah berharap komitmen seluruh pihak dalam melaksanakan gerakan percepatan perbaikan gizi,” katanya.

Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, kata dia, target untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat yang diprioritaskan pada 1.000 hari pertama kehidupan dapat lebih mudah tercapai. AN-MB