AA Ngurah Wirawan

Denpasar (Metrobali.com)-

Ahli infrastruktur Anak Agung Ngurah Wirawan mengatakan pembangunan selalu indentik dengan penggusuran, perampasan lahan warga, peminggiran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga jalan keluarnya adalah diperlukan pendekatan hati seorang pemimpin.

“Dicontohkan pembangunan seperti jalan tol di DKI Jakarta, memerlukan pendekatan kepada masyarakat yang merasa dirugikan, terutama lahan warga yang akan dijadikan jalan tersebut, sehingga pembangunan itu pun banyak mengalami hambatan,” katanya dalam acara peluncuran buku berjudul “Diplomasi Hati: Menembus Kebuntuan Pembangunan JORR ala Jokowi” di Denpasar, Jumat (4/7).

Ia mengatakan dalam pembangunan Jakarta Outer Ring Road (JORR) I dan JORR II serta jalan tol radial 6 ruas dalam kota yang melintasi tengah kota yang menghubungkan semua JORR memang perencanaannya cukup lama, namun tidak terealisasi karena berbagai alasan.

Dalam buku setebal 149 halaman yang ditulis Kristin Samah dan Bayu Adiryntoko mengupas sejarah singkat masuknya Pemprov DKI Jakarta di industri jalan tol sejak 2005. Dimulai dengan ajakan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto yang disambut Gubernur Sutiyoso diakhir masa pemerintahannya, sampai dengan peran Gubernur Fauzi Bowo selama lima tahun dan belum juga selesai.

Namun masalah tersebut terus berlanjut terkait masalah pembebasan lahan, tetapi sejak di era Gubernur Joko Widodo yang akhirnya mampu menuntaskan Jalan Ora Rampung-Rampung.

Menurut Ngurah Wirawan, sosok Joko Widodo (Jokowi) memang tidak suka dengan pembangunan jalan tol yang berlebihan, karena dia memimpikan rakyat Kota Jakarta bergerak menggunakan kereta, bus dan berjalan kaki.

Namun Jokowi menyadari bahwa saat ini panjang jalan di Kota Jakarta masih sangat kurang, sehingga pergerakan kendaraan bermotor sangat terbatas dan kemacetan terjadi sepanjang hari.

Oleh sebab itu Jokowi yakin dan dengan percaya diri memutuskan bahwa jalan tol JORR I harus selesai dibangun pada masa pemerintahannya.

“Karena ini masalahnya di tanah, maka terjunlah Jokowi ‘blusukan’ mencari solusi bagaimana agar pembebasan tanah dapat selesai dalam waktu singkat,” ujarnya.

Diplomasi hati Jokowi merefleksikan sikap mental pemimpin yang bekerja keras dengan konsep mendengar dulu bukan menjelaskan terlebih dahulu. Puluhan tahun aplikasi proyek infrastruktur dimulai dengan “penjelasan” pemerintah mengenai proyek, bukan dengan mendengarkan kebutuhan rakyat sehari-hari di lokasi proyek.

Pola ini berubah drastis ketika Jokowi masuk ke pemukiman kumuh di Kelurahan Petukangan Selatan sebanyak 130 kepala keluarga tidak mau dibebaskan.

“Dengan gaya pendekatan Jokowi kepada masyarakat yang sebelumnya menolak ada pembebasan untuk jal tol tersebut, akhirnya berubah setelah dilakukan penjelasan secara langsung oleh Gubernur Jokowi,” katanya.

Ia mengatakan saat itulah masyarakat kota melihat Gubernur Jokowi adalah sosok pemimpin yang mau mendengar keluhan warga dan menyelesaikan permasalahan secara kedekatan perseorangan.

“Sosok Jokowi bagi masyarakat Kota Jakarta adalah sebagai seorang ayah, teman dan saudara yang membutuhkan bantuan serta dukungan. Cairnya hati warga bukan karena sulap atau sihir, tetapi karena pendekatan melalui hati,” katanya.

Sementara itu, Dewa Gede Palguna dari Universitas Udayana mengatakan buku ini bisa dijadikan sebuah acuan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, terutama dalam pembebasan lahan.

“Ini sebuah buku yang bisa dijadikan acuan bagi pemerintah, pemimpin atau pun kepala daerah dalam mencari solusi ketika berhadapan dengan masyarakat soal pembebasan lahan. Sehingga tidak ada merasa dirugikan ketika tanahnya digunakan untuk kepentingan umum,” katanya. AN-MB