PEMBANGUNAN  daerah Bali pada hakikatnya adalah pembangunan masyarakat Bali yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Bali, serta merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Olah karena itu, sinkronisasi program dan koordinasi menjadi prasyarat terwujudnya perencanaan yang komprehensif dan aspiratif. Sangat menarik, mencermati pernyataan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RKPD Prov. Bali 2012, beberapa waktu lalu.

Musrenbang merupakan cermin upaya sinkronisasi program pembangunan daerah, sekaligus sebagai implementasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Implementasi otonomi daerah, baik melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, maupun Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah membawa kecenderungan pada memusatnya kekuasaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Telah terindikasi munculnya “raja-raja kecil” yang cenderung ingin mengatur daerahnya sendiri mengabaikan hierarkhi pemerintahan yang ada. Banyak kasus muncul di daerah karena miskoordinasi antara Bupati/Walikota dengan Gubernur, bahkan dengan pemerintah pusat. Substansi otonomi yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui kewenangan pengaturan daerah secara lebih luas, diterjemahkan sebagai peluang untuk  meningkatkan pendapatan daerah sebesar-besarnya. Dalam konteks inilah sering terjadi benturan kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur dengan yang kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Terdapat dua model hubungan pusat-daerah yang diterapkan di banyak negara di dunia, yaitu model federasi dan kesatuan (unitary). Perbedaannya secara prinsipil terletak pada asal kekuasaan atau kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam model federasi, kekuasaan pada awalnya dari negara-negara  kecil (daerah) yang sepakat menyerahkan kedaulatan pada satu kekuasaan pemersatu untuk membentuk negara federal. Sedangka pada model negara kesatuan, berlaku sebaliknya, yaitu kekuasaan berasal dari Pusat kemudian didelegasikan kepada daerah-daerah untuk diimplementasikan.

Kedua model otonomi tersebut memilki perbedaan mencolok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada negara federal, antarnegara bagian memiliki derajat perbedaan yang tinggi dalam kebijakan daerah masing-masing. Sementara di negara kesatuan cenderung lebih seragam, karena daerah sangat bergantung pada pedoman atau standar pemerintah pusat. Atas gambaran tersebut semestinya otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia, daerah harus menghormati pedoman atau standar  yang ditetapkan pemerintah pusat. Hierarkhi pemerintahan masih tetap ada, dan Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di Provinsi.

Di Provinsi Bali, otonomi daerah dalam tataran empirik masih memerlukan pemahaman yang sama antar Kepala Daerah, sehingga komunikasi dan koordinasi kebijakan dalam membangun daerah dapat berjalan efektif. Kebijakan tingkat provinsi harus dijabarkan selaras ditingkat kabupaten/kota. Pro dan kontra penerepan Perda No 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali, menjadi bukti kondisi tersebut. Perencanaan pembangunan menuntut sinergitas seluruh komponen karena akan menjadi pedoman dan arah pembangunan Bali secara berkelanjutan. Terlebih dengan kondisi geografis yang sangat sempit serta potensi sumber daya alam yang sangat terbatas, konsep one island management lebih tepat diterapkan dalam mengelola pembangunan Bali. Semua harus terpadu.

Kita semua harus berbangga! Tingkat capaian keberhasilan pembangunan di Provinsi Bali, dilihat dari indikator-indikator pembangunan dalam tahun 2011, sesuai data pada BPS Provinsi Bali, tercatat yaitu:

–     Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,49%, melebihi target yang ditetapkan sebesar 6,36%,

–     PDRB perkapita juga mengalami peningkatan sekitar 13,19% dari Tahun 2010, yakni Rp. 18,50 juta perkapita Tahun 2011, dari Rp. 17,14 juta perkapita tahun 2010.

–     Pergerakan laju inflasi selama Tahun 2011 mencapai 3,75%, menurun dibandingkan tahun 2010 yang 8,10%.

–     Kunjungan wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Bali selama Tahun 2011 mencapai 2.826.709 orang, meningkat 9,73% dari Tahun 2010 yang mencapai 2.576.142 orang.

–     Angka kemiskinan 4,59%, menurun dibandingkan Tahun 2010 yang 4,88%.

–     Tingkat pengangguran terbuka mencapai 2,32%, menurun dibandingkan Tahun 2010 yang 3,06%.

Angka statistik di atas, mungkin saja berbeda dengan realitas di lapangan. Kita masih melihat banyaknya masyarakat kita yang menempati rumah tidak layak huni, sangat banyak pemuda kita yang menganggur, serta masih banyaknya anak-anak kita yang menjadi pengemis dan gelandangan di tepi-tepi jalan. Kondisi ini menuntut tanggung jawab kita bersama.

Ketika kewenangan sebagian besar sudah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi tentu tidak boleh tinggal diam. Berbagai program inovatif harus terus dirancang demi lebih menyentuh kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang ada apabila digarap secara terpadu dan terintegrasi oleh seluruh tingkatan pemerintahan di daerah, tentu akan membawa hasil optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada kata terlambat. Secara nasional implementasi otonomi daerah terus dievaluasi, sehingga di daerahpun kita semua, terutama seluruh kepala daerah harus lebih arif menyikapi perbedaan yang ada. Mari wujudkan Bali yang terintegrasi dalam program yang partisipatif.

 Wiasthana Ika Putra

 Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Sading, Badung.