Washington (Metrobali.com)-

Pemanasan global diduga akan memicu lebih banyak konflik manusia dan kerusuhan di seluruh dunia, demikian satu studi yang disiarkan pada Kamis (1/8) di jurnal AS, Science.

Beberapa peneliti dari Princeton University dan University of California Berkeley mendapati bahwa sekalipun hanya sedikit peningkatan temperatur dan curah hujan telah sangat banyak meningkatkan resiko kerusuhan pribadi dan kekacauan sosial sepanjang sejarah manusia.

Para peneliti itu menganalisis 60 studi dari sejumlah disiplin ilmu, termasuk ilmu jiwa, yang telah meneliti hubungan antara cuaca dan kerusuhan di berbagai bagian dunia dari sekitar 10.000 SM sampai saat ini.

Mereka mendapati sekalipun cuaca bukan satu-satunya sebab, atau penyebab utama, kerusuhan, cuaca tak bisa dibantah menambah parah ketegangan yang ada antar-pribadi dan masyarakat pada semua masyarakat, tak peduli kekayaan atau kestabilan yang ada.

Mereka mendapati satu perubahan standard, atau jumlah peralihan penyimpangan dari norma sosial, pada panas atau curah hujan mempengaruhi kemungkinan kerusuhan pribadi seperti perkosaan, pembunuhan dan serangan. Peristiwa semacam itu naik empat persen dan konflik antar-kelompok seperti kerusuhan, perang saudara atau konflik etnik naik sampai 14 persen, demikian laporan Xinhua –yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat.

Menurut para peneliti itu, satu penyimpangan standard kurang-lebih sama dengan pemanasan di satu negara Afrika sampai 0,35 derajat Celsius selama setahun penuh, atau pemanasan satu negara di Amerika Serikat sampai 2,9 derajat Celsius selama satu bulan.

Para peneliti tersebut mempelajari tiga kategori konflik: kejahatan dan kekerasan pribadi –yang meliputi pembunuhan, serangan, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga; kerusuhan antar-kelompok serta ketidak-stabilan politik seperti perang saudara, kerusuhan, kekerasan etnik dan penyerbuan atas lahan. Yang ketiga adalah kehancuran lembaga, yang merupakan perubahan besar dan secara mendadak dalam lembaga yang memerintah atau, dalam kasus yang ekstrem, ambruknya seluruh peradaban.

Mereka mendapati kondisi cuaca ekstrem memperkuat kerusuhan pada semua ketiga kategori, tak peduli letak geografis, kekayaan masyarakat atau masa dalam sejarah.

Contoh yang diajukan meliputi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga di India dan Australia, peningkatan serangan dan pembunuhan di Amerika Serikat dan Tanzania, kerusuhan etnik di Eropa dan Asia Selatan, penyerobotan lahan di Brazil, penggunaan kekerasan oleh polisi di Belanda, konflik sipil pada seluruh topik, dan bahkan ambruknya kekaisaran China dan Maya.

“Kami menemukan pola yang sama berulang-ulang, tak peduli apakah kami meneliti data dari Brazil, Somalia, China atau Amerika Serikat,” kata penulis bresama studi itu Edward Miguel, Direktur Center for Effective Global Action –yang berpusat di University of California Berkeley.

“Kita sering berpendapat masyarakat modern sangat terbebas dari lingkungan hidup, akibat teknologi canggih, tapi temuan kami menantang pendapat tersebut,” katanya.

Temuan itu bisa memiliki “dampak penting” dalam memahami dampak perubahan iklim pada masa depan atas masyarakat manusia, sebab banyak pola iklim global memproyeksikan kenaikan temperatur setidaknya dua derajat Celsius sampai 2050, kata para peneliti tersebut. (Antara/Xinhua-OANA)