Demo Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Penolakan 29 Desa Adat di Bali terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa saat bedemonstrasi di Bundaran Patung Ngurah Rai, Tuban, Bali/MB

Denpasar (Metrobali.com)-

Pasamuhan Sabha PanditaParisada, Sabtu (9/4), diharapkan focus danberkomitmen membahas soal Kawasan Suci Teluk Benoa, dan tidak terseret pada pro-kontra reklamasi Teluk Benoa. Soal menolak ataukah menerima reklamasi Teluk Benoa, merupakan domain dari elemen-elemen masyarakat Bali di luar Sabha Pandita. Keputusan Sabha Pandita diharapkan bersifat lebih umum menyangkut Kawasan Teluk Benoa, didasarkan pada kajian-kajian yang terkait dengan kompetensi Parisada.

Demikian rangkuman pendapat beberapa Pandita Parisada yang dikonfirmasi media, terkait pelaksanaan Pasamuhan Sabha PanditaParisada, 9 April 2016 nanti.

Pasamuhan Sabha Pandita di Jakarta pada Oktober 2015 yang lalu ‘’gagal’’ menetapkan Teluk Benoase bagai KawasanSuci, karena para Pandita ‘’terjebak’’ pada pro-kontra reklamas iTelukBenoa. Karena memang bukan bidangnya, Pasamuhan Sabha Pandita 2015 tidak bisa menelorkan Keputusan tentang TelukBenoa, karena mereka masuk pada masalah ‘’reklamasi TelukBenoa.’’ Padahal, soal reklamasi merupakan domain lembaga dan ahli lingkungan, kependudukan, ekonomi dan sosiologis, norma hukumnya, norma budayanya, maupun aspek politiknya. Kebuntuan itu dijawab dengan membentuk Tim 9 Sulinggih yang mengkaji Teluk Benoadan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) di luar Pura Besakih dan sekitarnya untuk dikaji.

Padahal, Sabha Walaka telah memberikan batasan dalam Keputusan Pasamuhan bulan Oktober 2015, bagaimana Sabha Pandita cukup dalam domain menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci. Dasarnya, nilai filosofis Sad Kertih, Bhisama Parisada tahun 1994 tentang Kesucian Pura, sertakajian ilmuwan independen yang menginventarisasi sejumlah titik suci di kawasan Teluk Benoa maupun  situs tirtayatra Ida Dang Hyang Nirartadan Dang Hyang Astapaka di sejumlah Pure  di Kawasan Teluk.

‘’Sebagai Wakil Dharma Adyaksa, kami sudah menyerap denyut hati umat Hindu, bagaimana agar titik-titik suci di Kawasan Telukd ilestarikan, dijaga kesuciannya. Domain Sulinggih tentu dalam batas norma agama, seperti filosofi Sad Kertih, Nyegara Gunung, Tri Hita Karana, juga Bhisama Parisada tahun 1994 tentang Kesucian Pura. Jadi, tidak bisa memaksakan Sabha Pandita pada kajian lingkungan ataupun ekonomi, lalu dikaitkan dengan pro-kontra reklamasi. Namun, tidak berarti Pandita mengabaikan aspirasi umat tentang reklamasi, karena dari status Teluk Benoa sebagai KawasanSuci, aspirasi-aspirasi umat bisa diperjuangkan untuk berdialog dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah,’’ kata Ida Mpu SiwaBudha Daksa Dharmita, Wakil Darma Adhyaksa BidangPujastawa.

Ida Mpu juga tidak sepen dapatd engan wacana sebagian Pandita yang menilai, Teluk Benoa sepenuhnya hak pemerintah, untuk melakukan dan membangun apa saja untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh hanya melihat kesejahteraan secara parsial dan pragmatis, karena adan ilai-nilai serta keyakinan yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilabrak begitu saja. Dan untuk bisa duduk membahas detil seperti ini, dibutuhkan landasan berpijak yang sama, yakni menghargai keyakinan umat Hindu tentang nilai Sad Kertih yang menyucikan enam elemen alam semesta termasuk laut, loloan, campuhan,’’ kata Ida Pandita.

Hal senada dilontarkan Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna, Wakil Dharma Adhyaksa Bidang Dharma Sewaka. ‘’Kalau kita fokus pada norma agama, pada konsep kesucian, pada Sad Kertih, pasti Pasamuhan Sabha Pandita akan lancer. Norma hukum dan norma-norma yang terkait implementasinya, yang bukan kompetensi Sabha Pandita, tidak boleh dimasuki dan dijadikan ranah Sabha Pandita,’’ katanya.

Sabha Walaka yang menyiapkan bahan Pasamuhan, menyatakan Rancangan Keputusan Sabha Pandita memang tentang penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, dan sama sekali tidak masuk dalam problem reklamasi. Walaupun, selama pembahasan di sidang komisi khususnya, serta kajian yang dijadikan referensi mencakup analisis pakar tentang ekonomi pariwisata, sosial budaya, demografi, lingkungan hidup dan lain-lainnya. Referensi itu memperkaya wawasan, karena filosofi dan norma agamanya tentu tidak terpisah samasekali dengan implementasi dan realitas, kata Putu Wirata Dwikora, Ketua Sabha Walaka. RED-MB