Golput

PERTUMBUHAN perekonomian negeri ini, yang identik dengan praktik kepemimpinan para bandit atau mafia koruptor memang sudah sangat memprihatinkan. Bahkan telah disinyalir menjadi pemicu utama terjadinya ketidakstabilan kehidupan masa depan dalam berbangsa dan bernegara.

Kenapa? Ini tentunya karena terjadinya pertumbuhan ketimpangan kesenjangan yang cukup tinggi dan makin menjadi-jadi, akibat cengkraman rezim ditaktor dan feodalistik dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan yang acapkali mengacaukan sistem perekonomian dan sistem perpolitikan dalam berdemokrasi, hanya demi upaya secara sengaja melanggengkan oligarki kekuasaan untuk memperkaya diri, memenuhi hasrat dan nafsu duniawi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan para kroninya.

Fakta yang cukup mencengangkan adalah satu demi satu para aktor birokrasi pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif terjebak dalam pusaran korupsi dan terpaksa harus berurusan dengan lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Implikasinya, negeri dengan sejuta bencana ini seakan tak pernah mampu belajar dari sejarah masa lalu dalam melakukan perubahan yang lebih baik dan menyejahterakan bagi kemaslahatan publik di masa datang.

Pasalnya, beragam fenomena sosial, mulai dari ketidakteraturan, kemacetan, kemiskinan, dan pengangguran terus meningkat seiring pertumbuhan perekonomian bangsa dengan kekuatan rezim kapitalisme global yang sangat masif dan sistemik. Atas dasar itulah, proses reformasi demokrasi yang telah berlangsung hampir satu dekade lebih ini dianggap telah gagal dalam membenahi sistem birokrasi pemerintahan secara berkelanjutan serta belum mampu memenuhi harapan publik.

Kini, di tengah gejolak hingar-bingar berdemokrasi pergerakan beragam partai politik sebagai kontestan dalam pemilihan umum tahun 2014 baik legislatif maupun pemilihan presiden sedang memperjuangkan kesejarahannya dengan berbagai cara dalam menjaring empati publik untuk mencapai tujuan utamanya meraih kursi kekuasaan birokrasi pemerintahan demi upaya memenuhi hasrat dan nafsu duniawi para anggota dan kroninya secara berkelanjutan.

Lantas, apakah sebuah tradisi lima tahunan yang merupakan kerja mahadasyat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) hingga mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah ini akan mampu menjawab beragam persoalan bangsa yang telah terungkap selama ini menuju masa depan kehidupan kebangsaan yang lebih baik dan menyejahterakan?.

Inilah tantangan kita bersama dalam mewujudkan tahun politik sebagai puncak berdemokrasi dari proses penentuan kepemimpinan bangsa di masa depan. Sehingga, beragam pandangan negatif tentang geliat denyut nadi kehidupan partai politik selama ini yang cenderung kurang berpihak kepada kemaslahatan publik secara perlahan dapat dihilangkan.

Artinya, apakah kita bersama akan mempertaruhkan reputasi dari integritas diri dengan terpaksa secara sukarela mencoblos para calon pemimpin dari partai politik di setiap pemungutan suara dan ataukah sebaliknya menentukan pilihan alternatif tersendiri dalam wujud partai golput (tidak memihak).

Terlebih lagi, publik sejatinya telah menyadari bahwa para calon pemimpin yang kini sedang bertarung dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan memperebutkan kursi kekuasaan pemerintahan dari berbagai unsur partai politik peserta pemilu 2014 terkesan masih merupakan wajah lama atau yang itu-itu saja. Jawabnya, sederhana tanpa perlu banyak teori tentunya, karena semuanya ada pada hati nurani kita bersama sebagai warga negara yang merdeka dan berdaulat dalam berdemokrasi.

 

Merampok Negara

Dalam proses reformasi berdemokrasi apa yang disebut politik uang merupakan sesuatu yang sudah lumrah dan lazim. Apalagi, demokrasi dalam keadaan sekarang acapkali hanya dipakai sebagai dalil pembenar melegalkan upaya untuk merampok negara. Pasalnya, partai politik sebagai ikon berdemokrasi cenderung menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan logistik dalam memperebutkan kursi kekuasaan, termasuk pembiayaan dana saksi yang cukup fenomenal dalam wacana publik kekinian.

Karena itulah, publik dituntut harus selalu bersabar dan berupaya lebih keras serta lebih berani lagi dalam melakukan gerakan perubahan secara terus menerus tanpa henti, agar perjalanan sejarah bangsa ini ke depan mampu menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat serta lebih beradab bagi kemaslahatan publik sesuai kebijakan yang telah diamanatkan dalam UUD’45.

Menjelang pemilu 2014, suasana perlombaan terhadap perebutan kursi kekuasaan diprediksi sangat sulit terlepas dari tindakan kekerasan dan pusaran praktik transaksionis dengan sumber pendanaan yang tidak pernah transparan. Karena itulah, praktik korupsi dengan beragam modusnya menjadi semakin masif dan sistemik dalam proses berdemokrasi. Implikasinya, upaya membangun dan memperkuat negera melalui proses reformasi demokrasi masih memprihatinkan. Apalagi, kecenderungan selama ini kehadiran negara dalam mengatasi persoalan menyangkut kepentingan kemaslahatan publik seringkali absen atau cuek/kurang tanggap.

Namun, demikian upaya meningkatkan kegairahan partisipasi publik dalam berdemokrasi melalui proses pemilu untuk menciptakan kebebasan sipil dan hak-hak politik yang lebih beradab dan bermartabat harus tetap diperjuangkan secara transparan. Hal ini mengingat proses demokrasi adalah salah satu konsep alternatif yang relatif terbaik dalam sistem kepemimpinan untuk memuliakan kemerdekaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat.

Patut disadari bahwa publik sekarang ini dalam berdemokrasi sudah mulai sadar dan relatif semakin cerdas akan kebebasan haknya dalam memilih pemimpin yang tepat dan dikehendaki. Karena itulah, kandidat calon pemimpin yang kecenderungan aspirasi politiknya hanya berbasis pada faktor primodialisme berupa ikatan etnis, agama atau kekerabatan termasuk tradisi praktik transaksionis akan semakin kesulitan dalam memengaruhi empati publik di kancah Pemilu 2014, tahun ini.

Apalagi, telah menjadi rahasia publik bahwa kandidat calon pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas acapkali tidak memiliki kemampuan dalam bertanggungjawab untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan perekonomian bangsa demi kemaslahatan publik. Jadi sistem primodial boleh kuat dan praktik transaksionis masih mentradisi serta popularitas sebagai unggulan menjaring empati, akan tetapi publik rupanya sudah punya pembelajaran tersendiri untuk mempertahankan kemerdekaan dan hak politiknya dalam proses berdemokrasi menentukan pemimpin yang berkompeten melalui  tahapan pemilu 2014.

Dalam upaya mencapai proses reformasi demokrasi yang lebih beradab dan bermartabat inilah peranan pengawasan publik menjadi prioritas utama yang patut menjadi perhatian kita bersama secara lebih serius. Sehingga, bangsa dan negara ini di masa datang memiliki pemimpin yang mampu menjaga kedaulatan, kepribadian dan kemandirian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi kerakyatan.

Dalam konteks ini, artinya jangan sampai kemerdekaan dan kebebasan berdemokrasi melahirkan pemimpin yang cenderung berjiwa otoriter dan ditaktor ataupun feodalistik serta mentalitas budak atau mentalitas terjajah ataupun aktor utama perbudakan dari ancaman oligarki kekuatan asing atau domestik sebagai agen kapitalisme global yang selalu hanya beroritentasi mengejar kepentingan profit atau keuntungan pribadi maupun kroninya semata, sehingga kursi kekuasan senantiasa dianggap bukan untuk keadaban dan peradaban kemaslahatan publik yang lebih luas.

Atas dasar itulah, peran pers sebagai the fourth estate atau pilar keempat dalam kancah mengawal proses reformasi demokrasi dituntut harus dapat memanfaatkan kebebasannya secara bertanggung jawab dan tidak hanya mengejar keuntungan komersial semata. Jangan sampai pers kebablasan hingga terjebak dalam praktik menjual gosip dan disinformasi atas dasar pesanan dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan demi memuaskan hasrat dan nafsu duniawi bagi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Dalam konteks ini, patut diwaspadai jangan sampai menambah daftar para aktor utama dalam dunia pers yakni jurnalis/fotografer terjebak dalam praktik mafia koruptor sebagai objek yang acapkali dijadikan korban ataupun sapi perahan maupun ajang perbudakan serta ATM kaum kapitalisme global atas dasar kehendak para elite politik penguasa pemangku kebijakan yang cenderung secara sengaja mengabaikan kemuliaan dari nilai kemanusiaan terkait kewajiban dan hak kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaulat dan beradab atas dasar kemerdekaan ataupun kebebasan berdemokrasi sesuai amanat UUD’45 dan Pancasila. WB-MB