Keterangan foto: Pantai Dreamland/Sumber gambar: instagram @t.endele

Keterlenaan Bali pada pemujaan pariwisata memberi kita lebih banyak lengahnya, lebih banyak toleransi dengan sikap permisif, lebih banyak kehilangan. Kita seperti tercerabut dari kearifan-kearifan lokal yang menjadi rujukan hidup dan pandangan hidup kita selama ini. Bali terlalu membuka lebar-lebar dirinya untuk hampir segala sesuatu demi pariwisata.

Oleh Putu Suasta

BALI sepenuhnya mengandalkan pariwisata. Itu tak dapat disangkal. Pariwisata ialah ‘hidup matinya’ Bali. Ini terbukti ketika Bom Bali 1 meledak di jantung Legian pada 12 Oktober 2002 silam. Esok dan seterusnya setelah ledakan bom itu perekonomian Bali lumpuh untuk lebih dari satu dekade. Ingatlah, pariwisataBali ialah satu rentetetan domino. Sektor pariwisata macet maka itu akan berefek pada sektor yang lain.

Maka tak berlebihan jika pariwisata Bali adalah supremasi ekonomi Bali. Dalam perjalanannya, kesejahteraan masyarakat Bali sebagian berasal dari sektor ini untuk tak mengatakan hampir sepenuhnya, setidaknya dapat dilihat dari sebelum meledaknya Bom Bali 1. Di tahun 80-an, semua titik-titik destinasi wisata berlangsung meriah, hidup dan menguntungkan.

Lihatlah, misalnya, bis-bis turis begitu lepas dari Denpasar dan memasuki Batubulan akan ‘dihadang’ oleh pertunjukan barong dance, fire dance, kecang dance. Lepas dari Batubulan maka berbaris sepanjang jalan raya Celuk deretan art shop gold and silver dan tiap hari penuh berjejal bis-bis turis yang parkir di halaman art shop penjual kerajinan mas dan perak. Jika sempat melewati Tegal Tamu menuju Singapadu, maka berbagai patung cadas berderet di tepi jalan.

Dan jangan kata destinasi Sanur, Ubud dan sekitarnya. Belakangan kemudian berkembang Nusa Dua yang semula hanya dataran batu kapur. Setelah itu disusul yang paling fenomenal adalah Canggu, yang di masa 80-an jauh dari pemikiran bahwa kawasan itu dapat berkembang pesat seperti sekarang ini. Dan siapa pula menyangka bahwa kawasan paling timur Bali, yakni Amed dan Tulamben, dua kawasan berpantai di Karangasem, kini sudah mulai ramai oleh kunjungan turis asing dengan menyewa vila-vila yang mulai berjajar di kawasan itu.

Akhirnya, beranjak dari rentetan kawasan yang semula tak dipertimbangkan sebagai distinasi wisata, besar kemungkinan hampir seluruh Bali akan dirambah oleh ‘silau dolar’. Memang tak bisa lain bahwa satu-satunya perekonomian yang bisa digerakan Bali adalah pariwisata. Segala bentuk penyajian yang mengacu pada ranah pelancongan ini dicoba di sini tanpa memikirkan apakah itu kontekstual dengan atmosfer Bali. Merebaknya vila, pengadaan beberapa kebun binatang, peristiwa reklamasi, adalah contoh-contoh yang perlu dipertimbangkan dengan koneksitas alam dan budaya Bali.

Tetapi Bali telah terlanjur begitu kuyup menggantungkan dirinya dengan dunia pariwisata. Maka inilah fokus utama yang menjadi ‘rujukan utama’ bagi masyarakat Bali dalam menafkahi dirinya. Maka tak heran jika kemudian kawasan-kawasan yang sebelumnya jauh dari jangkauan turisme kini dirambah atas nama destinasi pariwisata. Perambahan untuk kepentingan pariwisata yang hampir-hampir tak menghiraukan keberadaan tata ruang yang secara formal diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 dan tata ruang yang bertimbang pada lingkungan.
Satu dekade pascabom pariwisata mulai menggeliat kembali. Dan belakangan ini telah memperlihatkan geliatnya yang luar biasa. Bom Bali tujuh belas tahun silam seakan tak sanggup melumpuhkan pariwisata Bali buat selamanya. Dalam situasi saat ini, pariwisata Bali bahkan menunjukkan perambahan yang tak terduga. Tetapi semua itu bukan tanpa risiko.

DINAMIKA pariwsata Bali yang makin berkembang membuat tingkat kesejahteraan makin terjaga. Setidaknya, ranah pariwisata menjanjikan lapangan kerja, membuka usaha baru (vila, restoran, bar, hotel, sarana-sarana rekreasi), merambah lahan-lahan atau wilayah baru dan sebagainya. Kesuntukan pada pembangunan pariwisata dan lain-lain sektor riil yang terimbas dari dunia pariwisata membuat masyarakat Bali seperti tak memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar itu.

Tetapi keterlenaan pada pariwisata itu menjanjikan kemungkinan lain juga, yaitu suatu dampak yang baik disadari mau pun tidak berakibat kepada sisi lain kehidupan manusia, budaya dan terutama lingkungan. Sedikit dari kaum kelas menengah terdidik di Bali mulai mencemaskan eksplorasi pariwisata yang tak bertimbang kepada aspek-aspek penting dalam kehidupan alam maupun budaya Bali. Mirisnya, hal itu lebih banyak tak disadari oleh masyarakat Bali sendiri.

Dampak paling nyata dari eksplorasi pariwisata Bali adalah peralihan lahan. Gencarnya kepentingan lahan yang diperlukan demi pariwisata makin menunjukkan wujudnya setiap hari. Di atas telah dijelaskan bahwa kawasan yang dulunya tak dianggap sebagai kawasan pariwisata kini malah menjadi destinasi yang ramai, atau mulai ramai. Canggu, Kerobokan, misalnya untuk di wilayah Badung; wiayah-wilayah di sekitar Ubud seperti Lodtunduh, Tegalalalang, Sayan, Payangan; Amed dan Tulamben di kawasan timur Bali. Kita tinggal menunggu giliran kawasan lain di Bali yang bukan tak mungkin akan disulap menjadi destinasi turistik.

Peralihan lahan adalah dampak paling nyata dari perkembangan pariwisata. Banyak tanah pertanian seperti sawah beralih fungsi menjadi vila, hotel, perumahan, penjualan kebutuhan properti dan kepentingan lain. Peralihan ini bukan saja melenyapkan pesawahan di Bali, melainkan satu budaya juga hilang, yakni subak. Ruh pesawahan Bali adalah subak, yakni suatu kearifan air dalam hubungan yang fair dengan tradisi manusia Bali dalam mengelola tanah pertaniannya. Karena subak, pertanian Bali menemukan kejayaan agrarisnya dari masa lalu hingga kini. Subak di Bali hakikatnya bukan sekadar sistem pengairan. Ia bertalian dengan cara hidup, cara pandang, tersuratnya filosofi dan kearifan lokal. Sebagaimana diketahui, sebagian dari kehidupan masyarakat Bali berkaitan dengan hal-hal transenden, tradisi dan susastra kuno. Begitu pula dengan keberadaan subak.

Subak sebagai ‘ruh’ masyarakat agraris di Bali inilah kemudian menjadi bagian yang terdampak dalam pesatnya progresivitas turisme di Bali. Kawasan pesawahan yang menjadi bagian teritegrasi dalam sistem subak lambat-laun beralih fungsi menjadi berbagai bangunan, sebagian besar dalam konteks kepentingan turistik. Hampir seluruh Bali adalah kawasan pesawahan di masa lalu, namun kini telah banyak berubah! Benar kata sebuah ungkapan; tak ada yang tinggal tetap!

Tergerusnya pesawahan di Bali dan dengan sendirinya pula akan mengikis budaya subak menjadi perhatian utama dalam diskusi perdana yang diselenggarakan oleh Sudamala. Dalam tajuk Dialog Budaya Sudamala, topik utama yang menjadi perhatian besar adalah “Menata Bali ke Depan: Prospektif Pariwisata dan Budaya”, September 2011 silam. Salah satu pokok bahasan yang menjadi perhatian besar ketika itu adalah tentang subak. Dialog yang dihadiri sejumlah pengamat, budayawan, tokoh-tokoh adat itu secara faktual dan kritis menyikapi progresivitas pariwisata di Bali dan dampaknya pada budaya Bali.

Padahal panorama pesawahan adalah yang menjadi salah satu primadona alam budaya Bali. Hal ironis ialah kenyataan bahwa justru pesawahan yang paling tergerus dalam progresivitas pariwisata Bali. Kawasan Canggu, Kerobokan, Sayan, Lodtunduh atau Payangan adalah contoh-contoh paling konkret untuk peralihan fungsi tanah sawah Bali. sebetulnya juga Tabanan, namun alih fungsi tanah sawah di sana lebih banyak dijadikan kawasan bisnis perumahan. Jika semua ini dibiarkan, di mana pemerintah daerah dan masyarakat sama tak pedulinya, maka Bali akan berubah sama sekali menjadi suatu kawasan yang sulit dibayangkan di masa depan.

KETERLENAAN Bali pada pemujaan pariwisata memberi kita lebih banyak lengahnya, lebih banyak toleransi dengan sikap permisif, lebih banyak kehilangan. Kita seperti tercerabut dari kearifan-kearifan lokal yang menjadi rujukan hidup dan pandangan hidup kita selama ini. Bali terlalu membuka lebar-lebar dirinya untuk hampir segala sesuatu demi pariwisata. Akibatnya, sebagaimana telah dijelaskan, yang nyata-nyata terdampak ialah berkurangnya lahan-lahan produktif pertanian.

Ratusan hektar tanah-tanah di Bali dijual bukan lagi fenomena, tetapi suatu fakta permanen yang terjadi terus-menerus. Sebuah kasus tentang mantan wakil gubernur Bali yang terciduk dalam kasus penipuan penjualan tanah adalah satu bukti bahwa tanah-tanah Bali dijual bukan lagi fenomena, isapan jempol. Memang tak bisa dipungkiri bahwa bisnis tanah di Bali adalah yang paling menggiurkan karena bisa dijual dengan sangat mahal. Ini pula sebabnya mengapa masyarakat Bali yang memiliki tanah menjadi tergoda untuk menjualnya.

Selain tergerusnya tanah-tanah pesawahan yang produktif akibat eksplorasi pariwisata, hal lain yang juga tak terduga adalah terjadinya fenomena turis-turis asing yang melakukan tindak krimanal di Bali. belakangan ini pers di Bali maupun nasional mengabarkan perampokan money changer, pembobolan ATM, pejambretan, justru kini mulai dilakukan oleh turis-turis asing. Orang-orang menduga bahwa kebijakan bebas visa untuk datang ke Bali menjadi bagian penyebab mengapa turis-turis asing melakukan hal ini.

Dalam pertemuan APEC 2013 di Bali, para Menteri Pariwisata membahas kemudahan visa di mana bagian dari pembahasan itu akan memberi fasilitas kemudahan bagi mereka yang disebut low risk traveler untuk mendapat jalur khusus tanpa melalui antrean panjang di couter bea dan cukai serta imigrasi sebelum masuk ke suatu negara. Akibat yang diterima ialah membludaknya para turis asing dengan bekal seadanya yang masuk ke berbagai negara yang bebas visa, termasuk Indonesia di mana yang paling dominan tujuannya adalah ke Bali.

Berdasarkan laporan pers di Bali, mulai terjadi masalah dengan turis-turis yang berkeliaran di Bali. selain melakukan tindak kriminal (membobol ATM, merampok money changer, menjambret), fenomena lain yang adalah merebaknya turis-turis gembel di sejumlah kota di Bali. Pihak Imigrasi Bali tampaknya sudah gerah dengan turis-turis gembel ini. Baru-baru ini, Kabid Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas 1 TPI Ngurah Raiberujar, Setyo Budiwardoyo, angkat suara, “ WNA yang gak punya duit atau pura-pura gembel kita kirimkan orang itu ke kedutaannya atau minta perlindungan ke kedutaannyayang notabene harus melindungi warga negaranya yang di sini banyak.”

Fenomena turis-turis gembel bukan saja menyusahkan pihak berwenang di Bali, juga menjadi sorotan pers asing. Beberapa media asing seperti The Sun (Inggris) menyorot gembel-gembel turis asing di Bali dengan judul “Bali is so Sick of ‘Begpackers’ that It Will Now Report Them to Their Embassy”. Juga pers Hong Kong, South China Morning Post, ikut menyoroti turis-turis asing yang menggelbel di Bali. kedua pers asing itu mengungkapkan bahwa di Bali kini banyak ‘gembel ransel’ yang berkeliaran saat ini. The Sun menduga bahwa terjadinya hal itu karena begitu mudahnya datang ke Bali, biaya hidup murah dan banyak fasilitas yang tersedia dari yang termahal hingga yang paling murah.

Pemandangan lain yang tak kalah mirisnya, berkaitan dengan bisnis pariwisata Bali, ialah tak sedikit kini pelaku-pelaku bisnis pariwisata di Bali adalah orang asing. Hal ini telah terjadi sejak lama dan makin terbuka lebar ketika pemerintah mempermudah masuk investasi asing ke dalam negeri. Sinyal itu sebetulnya telah mulai terbaca ketika Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Darmin Nasution di depan para investor seluruh dunia dalam Indonesia Investment Forum di Nusa Dua setahun lalu. Darmin mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mempermudah investasi asing di dalam negeri, mulai kemudahan perizinan hingga pemberian insentif pajak lewat tax allowence dan tax holiday.

PARIWISATA Bali, selain mendatangkan kesejahteraan bagi sebagian masyarakat Bali khususnya, juga tak kurang ancaman yang ditimbulkannya. Di atas telah dipaparkan sebagian kecil ancaman dan dampak yang telah terjadi. Tergerusnya tanah pertanian produktif yang sudah nyata-nyata terjadi, membludaknya turis-turis ‘tas ransel’ yang di antaranya mulai menimbulkan masalah di Bali dan investasi asing dalam dunia pariwisata yang mulai sah dilakukan tanpa lagi memerlukan ‘orang kedua’ untuk berbisnis di Bali.

Jika kenyataan dan fenomena itu tak disadari oleh orang Bali sendiri, maka pariwisata Bali adalah pariwisata yang dimiliki orang lain. Kelak pariwisata Bali hanya tinggal sebuah penamaan namun kendali terbesar justru dilakukan oleh bukan orang Bali. Ironis yang memilukan buat anak cucu kita kelak. Karena itu, sudah saatnya masyarakat Bali mulai bersikap lebih antisiatif terhadap progresivitas pariwisata Bali. pariwisata tetap diperlukan, namun kemudian bagaimana segala potensi budaya, kekuasaan formal dan masyarakat adat mulai memainkan peran besarnya dalam gemuruh dunia pariwisata Bali.

Pemerintah Daerah Bali telah memiliki pegangan hukum melalui kebijakan tata ruangnya; masyarakat adat Bali juga kini telah dioptimalkan pemberdayaannya yang mana telah dituangkan melalui Perda No. 4 Tahun 2019; maka PR besar pemerintah daerah dan masyarakat Bali adalah menyatukan persepsi, kebulatan hati dan aksi yang elegan dalam menghadapi serbuan, ancaman bisnis dan nilai-nilai luar yang masuk ke Bali. Yang menjadi pegangan selanjutnya ialah konsistensi sinergi pemerintah daerah dan masyarakat. Tak ada waktu lagi untuk menunda-nunda karena tantangan, ancaman nilai dan invasi investasi akan terus masukek Bali dalam hitungan hari! (PS/25072019)