Keterangan foto: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui situs remi menyebutkan awal musim kemarau 2019 diprakirakan mulai bulan April/MB

Jakarta, (Metrobali.com) –

Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT) Tri Handoko Seto, menghimbau pada pemilik waduk segera memantau kecukupan air waduk memasuki musim kemarau tahun ini.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui situs remi menyebutkan awal musim kemarau 2019 diprakirakan mulai bulan April. Tahun ini juga diperdiksikan Indonesia bakal menghadapi fenomena iklim El Nino sebesar 55-60 persen. Pada Juli-September 2019, iklim diperkirakan lebih kering. Sementara, 25,5 persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau lebih maju, dan 24 persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau di atas normal.

“El Nino terjadi bersamaan dengan puncak musim hujan, maka dampaknya tidak kelihatan. Namun perlu mengantisipasi hal itu sekarang. Para penentu kebijakan apapun yang terkait dengan hujan seperti pengelola waduk, kebakaran hutan, dan pertanian harus mulai siap-siap,” ujar Tri Handoko Seto.

Khusus pengelola waduk, kata Seto, perlu mengkalkulasi tinggi meter air saat ini dengan prediksi BMKG berakhirnya musim hujan. “Biasanya tiap daerah bervariasi tetapi secara umum April dan Mei sudah mulai berkurang. Kemudian, apakah cadangan air waduknya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama musim kemarau yang diprediksi tahun akan lebih kering,” ujarnya.

Jika hasil perhitungan, ternyata diperkirakan tidak akan memenuhi kebutuhan selama musim kemarau, lanjut dia, maka bisa dilakukan penambahan curah hujan melalui teknologi modifikasi cuaca untuk mengisi waduk, untuk keperluan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) maupun pertanian.

Menurut Seto, ada belasan waduk yang benar-benar harus dicek terutama waduk-waduk besar. Diantaranya waduk Jatiluhur di Jawa Barat, waduk Karangkates di wilayah Malang, Jawa Timur, waduk Sigura- gura di wilayah Sumatera Utara, waduk Batutegi di wilayah Lampung, waduk Gajah Mungkur di daerah Jawa Tengah, waduk Wonorejo di daerah Tulungagung, Jawa Timur. waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan dan lain sebagainya.

TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca), kata Seto, semestinya difungsikan untuk mengantisipasi musim kemarau. “Sebagian masyarakat masih menilai , tidak perlu TMC karena masih hujan. Pas, terjadi kekeringan baru panik . Padahal, TMC juga tidak mungkin beroperasi maksimal di musim kemarau panjang karena tidak ada awan sama sekali sebagai bahan yang diolah,” tegasnya.

Kebijakan TMC, lanjut Seto, harus dipadukan dengan sistem manajemen air di tiap-tiap wilayah. “Manajemennya seperti apa prediksinya seperti apa sehingga pada saat yang tepat dilakukan TMC,” ujarnya.

TMC, Kata Seto, pernah memiliki pengalaman terlibat langsung dalam upaya mendukung program ketahanan pangan nasional pada tahun 2007 dan 2012. Guna mendukung program peningkatan produksi beras nasional 2 juta ton pada 2007, TMC menjadi untuk menambah pasokan air irigasi pada beberapa waduk strategis di empat provinsi sentra produksi beras nasional, yaitu di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Jawa Barat). Waduk Gajah Mungkur dan Kedungombo (Jawa Tengah), Waduk Sutami, Sengguruh dan Solorejo (Jawa Timur), serta Waduk Batutegi (Lampung).

Berdasarkan hasil perhitungan Tim Monitoring dan Evaluasi oleh forum Masyarakat Hidrologi Indonesia (MHI), kegiatan TMC pada 2007 telah menghasilkan penambahan total volume air di seluruh waduk pada keempat provinsi tersebut sebesar 703,5 juta m3 dan dengan asumsi kebutuhan air 9000 m3/ha serta produksi beras 4 ton/ha maka hasil TMC telah memberi sumbangan sebesar 25 persen dari rencana peningkatan beras nasional sebesar 2 juta ton pada tahun 2007.

Pada tahun 2012, TMC juga dilakukan di DAS Citarum Jawa Barat untuk mendukung pencapaian program ketahanan pangan nasional surplus 10 juta ton beras tahun 2014, dan Jawa Barat mendapat kuota 3 juta ton beras. Hasil pemanfaatan TMC di wilayah DAS Citarum berhasil memberikan tambahan air di ketiga waduk kaskade Citarum (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) sebesar 423,5 juta m3. Hasil TMC di wilayah DAS Citarum telah memberikan sumbangan produksi beras sebanyak 231.000 ton beras atau sekitar 7,7 persen dari kuota penambahan produksi beras nasional yang dibebankan kepada Provinsi Jawa Barat.

Sementara itu, pada kejadian El Nino di tahun 2015, dampak yang ditimbulkan di sektor pertanian cukup luas. Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada saat itu, kekeringan melanda 16 provinsi meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan. Pulau Bali dan Nusa Tenggara mengalami defisit air sekitar 20 miliar meter kubik. Selain itu, lahan pertanian seluas 111.000 hektare juga mengalami kekeringan.

Editor: Hana Sutiawati