Foto: Pengusaha IPAL Anak Agung Ngurah Panji Astika, S.T., yang juga tokoh Puri Anom Tabanan yang digadang-gadang sebagai Bakal Calon Bupati Tabanan pada Pilkada Serentak September 2020.

Tabanan (Metrobali.com)-

Banyak pengusaha yang sukses mencicipi peluang bisnis berawal dari hobi atau kecintaan atas sesuatu. Hal ini pulalah yang terjadi pada Anak Agung Ngurah Panji Astika, S.T.

Berawal dari kecintaan dan kepedulian besarnya pada pelestarian lingkungan, pria asal Puri Anom Tabanan ini sukses menjadi pengusaha dan salah produsen IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terbesar dan terpercaya di Bali bahkan Indonesia.

Ia menjadi salah satu pioner perusahaan IPAL di Pulau Dewata yang kini sudah berhasil merambah pasar ke seluruh Indonesia baik untuk instalasi IPAL di perusahaan swasta maupun di kantor-kantor pemerintah.

“Saya merasa seperti orang paling bahagia saat ini. Saya bisa berbisnis tapi sambil selamatkan lingkungan. Bisnis saya ‘kotor’ tapi bisa menghasilkan kebaikan untuk lingkungan,” kata Panji Astika, Jumat (29/11/2019).

IPAL atau yang disebut pula Waste Water Treatment Plant (WWTP) adalah sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain.

“Semua limbah cair harus diolah jadi air bersih sampai layak dibuang. Disinilah IPAL memegang peranan penting,” kata pria yang digadang-gadang sebagai Bakal Calon Bupati Tabanan pada Pilkada Serentak September 2020 mendatang.

Panji Astika mulai melirik usaha IPAL sejak belasan tahun silam saat di Bali belum ada perusahaan IPAL lokal yang punya teknologi terpadu untuk pengolahan limbah cair. Bahkan penggunaan IPAL pun masih belum banyak dilirik dan belum dianggap penting.

“Saat itu tidak banyak mau pakai IPAL, padahal di luar negeri sudah gencar digunakan,” kata lulusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya, Malang ini.

Ia pun berpikir bagaimana membuat redesain teknologi dari instalasi IPAL yang digunakan di luar negeri. Sebab jika ditiru atau digunakan total seperti aslinya maka biayanya cukup mahal dan belum bisa diterima pasar di Indonesia.

Ia lantas berkenalan dengan sejumlah ahli dan pengusaha IPAL dari beberapa negara Eropa dan Australia agar bisa mendirikan perusahaan dan memproduksi instalasi IPAL sendiri di Bali.

Dalam perjalanannya, Panji Astika mendirikan PT. AMANAID sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Desain, Fabrikasi dan Instalasi untuk Sistem Pengolahan Limbah Cair (Waste Water Treatment) sering juga disebut sebagai IPAL ( Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sistem pengolahan air bersih (Water Treatment).

Akhirnya Panji Astika berhasil mengembangkan sejumlah instalasi IPAL. Bahkan beberapa sudah terdaftar mendapatkan Hak Paten. Misalnya teknologi Bio-Save -Tank yang saat ini sudah terpasang hampir di seluruh Indonesia.

“Kami bisa menangani sampai 1.000 proyek baik untuk perusahaan swasta dan Pemda dari seluruh Indonesia,” ungkap Panji Astika.

AMANAID secara bertahap membangun produk yang telah diaplikasikan di sebagian besar wilayah Indonesia dan telah teruji di beberapa jenis project dari tipe domestik.

Seperti Villa, perumahan, restaurant, klinik sampai ke skala komersial seperti hotel, apartemen, mall, pasar modern dan rumah sakit serta pabrik pabrik yang memperkerjakan ribuan perusahaan.

Bekerja sama dengan konsultan lingkungan di Australia dan didukung oleh pabrikan di Taiwan dan China serta mesin mesin yang di beli di Jepang dan Jerman, lewat AMANAID Panji Astika mededikasikan semua usaha untuk mencapai sebuah produk dan pelayanan dengan mutu Internasional.

Terlebih saat ini pemerintah mewajibkan bangunan komersial punya IPAL. Bangunan pemerintah juga wajib punya IPAL, bahkan hingga sekolah-sekolah juga didorong memiliki IPAL agar tidak terjadi dampak kerusakan lingkungan.

“Kami juga kembagkan IPAL untuk rumah tangga dengan sitem yang sederhana tapi handal kelola limbah cair,” ungkap Panji Astika.

Di sisi lain, ia menyayangkan kesadaran untuk mengelola limbah cair dari kalangan pengusaha masih rendah. Padahal di Bali limbah cair yang paling berbahaya.

“Banyak usaha misalnya garmen membuang limbah cajr ke sungai. Sehingga sungai pekat, berbau busuk. Ini yang buat saya miris,” katanya.

Ia mencontohkan kejadian warna air Tukad Badung yang berubah jadi merah serupa darah Selasa (26/11/2019) dan menjadi perhatian publik

Kondisi ini gara-gara usaha sablon milik Hj. Nurhayati yang berlokasi Jalan Pulau Misol I Nomor 23, Dauh Puri Kauh, Denpasar tak bertanggungjawab dengan membuang limbah sablonnya ke Tukad Badung.

Atas ulahnya tersebut, Satpol PP bersama DLHK Kota Denpasar  langsung menyegel tempat usaha sablon tersebut.

“Sebenarnya saya sudah siapkan alat IPAL garmen dan tekstil tanpa zat kimia. Cuma mereka (pengusaha) tidak mau investasi. Mereka anggap ini buang-buang duit,” pungkas Panji Astika. (wid)