Buruh-1
Oleh: Ngurah Karyadi

Panggung wayang adalah dua kutub: kanan dan kiri. Disusun berbaris berdasarkan karakter penokohan. Diawali dengan yang paling penting, dan tokoh-tokoh perang militan dan berkekuatan besar, ditancapkan kuat di bagian belakang.

Para punakawan yang menjadi lakon utama dalam babak goro-goro, lebih banyak disimpan di kotak sang dalang. Tidak dijajar bersama para tokoh kunci, dan dimainkan saat kelir sudah diterangkan lampunya. Kanan dan kiri adalah watak manusia. 

Orang Bali menyebut dengan Rwa-Bhineda, dua sisi yang selalu berseberangan. Opposition Binarry. Suatu pesan yang  dipahami dalam pewayangan: Kenapa hingga akhir kisah, tak ada perpindahan tokoh dari kanan ke kiri, atau dari kiri ke kanan.

Seolah, wayang adalah cerita baku. Tokoh di kanan tak akan pindah ke kiri. Begitu pula sebaliknya: tak ada “pertobatan” dari tokoh kiri menuju ke kanan. Ini tentu saja dalam konteks “kanan” diartikan sebagai kebenaran. Sebenarnya, kalau ditelusuri, ada juga tokoh yang seharusnya berada di barisan kanan, tetapi memainkan peran di bagian kiri. Begitu juga sebaliknya.

Contoh yang paling banyak dikenal orang adalah kisah Mahabarata. Ada beberapa tokoh yang seharusnya berada di “kanan”, tetapi pada saat lakon Bharatayudha dimainkan, sang tokoh ada di sebelah “kiri.” Adipati Karna, adalah tokoh yang seharusnya ada di kanan. Karena, Karna adalah masih saudara se-ibu para Pandawa. Begitu juga Resi Bisma, seharusnya ada di kanan.

Entah mungkin karena alasan “politis,” sang dalang menyimpan tokoh ini di dalam kotak. Sementara dalam kenyataan tidak demikian, selalu ada  perpindahan peran dan barisan, atau  bahkan bekerja sama (koalisi).

Wayang adalah pralambang. Kisahnya menginspirasi. Wayang bukan melulu soal budaya. Sehingga bisa menjadi rujukan dalam konteks kekinian, baik di politik, sosial, hukum. Lihat saja pada situasi yang tengah terjadi di negeri ini. 

Betapa kita melihat sedang ada lakon-lakon yang tengah dimainkan para aktor politik. Dengan “otoritas penuh,” seorang dalang bisa saja memenangkan pihak mana sesuai keinginan hatinya. Tapi, tentu saja itu mungkin. Terjadi pelanggaran pakem. Pelanggaran aturan dasar Bhawono, dunia perwayangan. Sehingga sang dalang bisa ditimpuki para penonton, nantinya!

Kembali ke konteks ke-kinian. Saat ini, kita sedang melihat lakon “Geger Koalisi Merah Putih” sedang menjadi perhatian banyak orang. Pertarungan-pertarungan politik, hukum, hingga intrik-intrik sedang dijalankan. Bukan saja oleh pemain dalam, tapi juga pemain luar.

Lalu, bagaimana jejer para wayang di tubuh Koalisi Merah Putih (KMP) vs Koalisi Indonesiaa Hebat (KIH) yang terlihat oleh publik saat ini? Siapa ada di kanan, dan siapa ada di kiri? Sama seperti cerita di wayang, untuk melihat tokoh yang ada di kanan dan yang ada di kiri, rujukan utamanya adalah jejak rekam sang tokoh. Track record!

Sama seperti kisah Mahabarata yang kemudian melahirkan “Bharatayudha” di Padang Kurusetra. Para tokoh yang bertarung di pentas politik, sebenarnya berasal dari klan sama: Indonesia! Meski mereka tidak berjajar di kanan sebagai bala-Pandawa, dan di kiri sebagai bala-Kurawa.

Tokoh-tokoh yang menyeberang, tidak berada di kotak sang dalang, namun tidak selalu pada akhirnya menentukan kemenangan. Justru sebaliknya. Bukan semata kemenangan politik. Disini bukan kemenangan atas komitmen dan cita-cita para ksatria, namun pada kawula dan rakyat umumnya.

Tentu, mereka yang terbawa oleh ambisi kekuasaan dan merebutnya secara in-konstitusional, akan lebur  dengan sendirinya. Sementara, mereka yang menjunjung tinggi kemanusiaan, komitmen dan pengabdian pada rakyat dengan berjuang secara ksatria, akan memenangi pertarungan. Meski, ada harga yang harus dibayar sebagai pengorbanan.

Sekali lagi, berada di sisi mana tokoh-tokoh KMP vs KIH saat ini? Juga, dimana letak lakon-lakon seperti Jokowi, Prabowo, Amin Rais, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, dan sejenisnya berada. Termasuk, misalnya para pimpinan KPK, yang bisa mebawa tokoh-tokoh tersebuk ke sidang paseban korupsi, seperti sejumlah menteri KIB Presiden SBY.

Tidak sulit, tentunya, jika Anda melihat secara obyektif dan tetap mengacu pada pakem kebenaran. Bukan pada gosip, isu, apalagi cerita-cerita karangan. Dengan uang, Dalang bisa saja membuat cerita ngawur, seperti dalam penenuan BPK, UU MD3, Pimpinan DPR/MPR sampai perubahan UU Pilkada. Tapi, rakyat selaku penonton punya hak, dimana sebagai pemegang kedaulatan tertinggi bisa membuat perbedaan. Lakon belum selesai, jadi mari kita lihat secara lebih bijak. Sambil bersiap mencabut mandat dengan lakon: REVOLUSI!