Oleh: Ida Bagus Anggapurana Pidada, S.H.,M.H.

Pandemi Virus Corona (coronavirus) hingga 22/3/2020 telah menelan korban lebih dari 260.000 masyarakat seluruh dunia yang mana puluhan ribu diantaranya tewas.

Bencana ini tentu merupakan kejadian luar biasa dimana menelan korban dalam jumlah yang begitu besar dalam waktu yang sangat singat. Virus ini kini tengah mewabah di Indonesia termasuk juga di Bali sehingga pemerintah mengambil berbagai kebijakan untuk mengurangi dampak penyebaran virus berbahaya ini.

Adapun kebijakan tersebut misalnya meliburkan pelajar, menutup rempat wisata dan melarang aktifitas di keramaian. Diantaranya yang paling kontroversial adalah melarang sejumlah kegiatan keagamaan dan tradisi karena dianggap berpotensi menjadi panggung penyebaran virus ini.

Kebijakan ini menuai polemik termasuk juga di Bali yang mana akan menyelenggarakan upacara tawur kesanga dalam serangkaian Hari Raya Nyepi.

Sebagian orang menganggap kebijakan ini mencerminkan rendahnya Sradha/keyakinan kita akan ke Maha Kuasaan Tuhan. Penilaian secara subjektif berpandangan justru ritual ini untuk menolak mala bahaya yang menghadang apabila tidak dilakukan maka bencana lebih besar dapat terjadi.

Dengan demikian pandangan religius ini menganggap hal ini bertentangan dengan ajaran agama termasuk ajaran Agama Hindu Bali. Pernyataan ini tidak bisa disalahkan dan dibenarkan sepenuhnya.

Adapun dalam tradisi Bali mengenal isilah Cuntaka/Sebel. Cuntaka merupakan sebuah keadaan dimana masyarakat justru sebaiknya tidak menyelenggarakan ritual keagamaan dalam Hindu.

Cuntaka ini terjadi kapan saja ketika pikiran manusia yang hendak melakukan Yadnya tidak dilandasi keiklasan ataupun keadaan yang membuat pikirannya terganggu untuk menyelenggarakan upacara tersebut.

Andaikan tetap dilakukan Yadnya tersebut juga tidak akan berguna bahkan bisa mendapatkan DUKA. Misalnya saja ketika menstruasi, ada keluarga yang meninggal, ada kejadian luar biasa yang mengganggu pikiran ataupun sebab-sebab lainnya.

Berdasarkan alasan tersebut, langkah Pemerintah menunda upacara Yadnya sudah tepat menurut Agama dan tradisi Hindu. Adapun alasannya:
1. Masyarakat terganggu pikirannya karena takut tertular virus tersebut.
2. Korban meninggal dan sakit luar biasa banyaknya.

3. Mengurangi potensi penyebaran virus di keramaian.
4. Agar tim medis dan petugas lebih fokus dalam bekerja.

Lalu apakah Tuhan tidak melindungi umatnya yang sedang beryadnya ?
Tuhan selalu melindungi seluruh ciptaannya, namun ciptaan Tuhan bukan hanya manusia tapi juga seluruh alam semesta termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan bahkan juga virus dan bakteri.

Dalam Itihasa Mahabharata dijelaskan oleh Krisna bagaimana perang Bharatayuda yang terjadi merupakan salah satu bentuk Kemahakuasaan Tuhan meskipun banyak korban jiwa.

Melalui kematian akan muncul kelahiran yang lebih baik untuk masa depan. Bentuk kemahakuasaan Tuhan tidak hanya sebagai pencipta (Brahma) namun juga pemelihara (Wisnu) dan pelebur (Shiwa).

Kematian merupakan sebuah proses kehidupan yang tidak bisa dihindari namun akan selalu ada kelahiran yang menjadi harapan untuk dunia masa depan.

Meskipun demikian, tidak berarti aktivitas Parahyangan seluruh Umat Hindu dihentikan. Kegiatan persembahyangan di rumah, ataupun kegiatan Yadnya yang tidak mengganggu pikiran dan waktu masih bisa diselenggarakan.

Misalnya muspa di sanggah,ngejot, yoga dan semadhi masih tetap bisa dilakukan di rumah masing-masing selama dilakukan dengan tulus iklas.

Yadnya merupakan sebuah korban suci yang tulus iklas sehingga tidak boleh Yadnya ini justru menjadi beban keterpaksaan sebagian masyarakat.

(Penulis adalah Dosen di Universitas Mahendradatta Denpasar)