Figur Yang Hilang#3, 2013, watercolor diatas kertas, 36x48cm

MASIH dalam ketegasan memberi makna garis dan warna akan sentuhan energy alam melalui eksotika karakter abstrak.  Itulah karya lukisan I Made Mahendra Mangku. Sosok bersahaja ini  kembali menampilkan 18 karya dalam medium cat air di atas kertas dan acrylic di atas kanvas. Warna-warna karya Mangku nampak halus, lembut dan segar, hadir sebagai tawaran merespon ruang Six Point Restaurant & Bar, di Jalan Danau Buyan, Sanur. Pembukaan pameran akan berlangsung Kamis, 12 Juni 2014, jam 19.00 Wita dan akan berlangsung hingga 12 Agustus 2014  di SIX POINT Restaurant & Bar, Jl. Danau Buyan No 74, Sanur, Denpasar.

Melalui pameran Ritmis, Mangku ingin mencoba membangkitkan kembali pengalaman menggerakkan alur garis dan warna yang lepas dari elemen dan ruang yang selama ini ia perhitungkan. Karya-karya dalam bingkai Ritmis adalah keindahan ekspresi jiwanya, diungkapkan dalam dialog warna dan garis kemudian disapu halus terpendar dalam keindahan yang menakjubkan. Pada mula imajinasi Mangku memang mengembara kemana-mana, namun ketika diberi media, seketika berubah menjadi garis dan warna yang berirama.

Ritmis ibarat bahasa gerak, merupakan medium ekspresi dari kebebasan garis dan warna yang selanjutnya dapat dinikmati oleh siapa saja. Pada dasarnya karya rupa Mangku adalah cerminan sebuah gerak manusia diantara isi alam dalam kehidupan sehari-hari. Ada gerak dalam kehidupan yang ditunjukkan sebagai identitas dari masing-masing karyanya.

Tentang Pohon#4, 2013, watercolor diatas kertas, 42x56cm

Gerak dalam karya Mangku bila diperhatikan seolah ia memindahkan elemen identitas manusia dan unsur-unsur alam seperti pohon, tanah, batu, air dan sebagainya. Elemen-elemen itu berhasil berpindah dari satu titik bidang ke titik bidang lainnya, cair secara harmoni. Pada karya Ritmis dapat dibaca inilah bagian ekspresi perasaan sang perupa yang telah diubah ke dalam ruang imajinasi, mengalir dalam bentuk media lukis menghasilkan pengungkapan yang bebas dan sangat indah.

I Made Mahendra Mangku sosok perupa akademisi yang tak henti berkarya, melakukan ekplorasi pada beragam media dengan water color maupun acrylic. Ia juga sering merambah pada seni instalasi tiga dimensi. Perupa kelahiran Sukawati, Gianyar, 1972 ini memulai penjelajahan artistik ketika memasuki SMSR Ubud pada 1988, lalu dilanjutkan di ISI Jogjakarta pada 1992.

Lima tahun kemudian, ia menyelesaikan studynya dan kembali berkarya di kampung halamannya Sukawati. Sebagai seniman yang tumbuh dan berkembang di desa yang memiliki kekuatan seni tradisi tinggi, ia sudah terbiasa dengan kekuatan memori estetis. Mangku tidak terpengaruh layaknya seperti seniman lain yang cenderung masuk ke wilayah kesadaran tradisi melalui bentuk-bentuk dan simbolisme Bali, ia menentukan jalan kreatifnya sendiri dalam benturan akar tradisi dan modern.

Figur Yang Hilang#4, 2013, watercolor diatas kertas, 36x48cm

Kini, dengan pengalaman teknik lukisan abstrak, Mangku memetaforkan pengalaman visual dengan bentuk-bentuk gerak yang teratur, selanjutnya mengalir menjadi gerak yang bebas, harmonis dan terjaga. Ritmis adalah penggalian misteri, dengan penggarapan yang sempurna, dan melalui karya-karyanya ternyata Mangku semakin menemukan jalan terang bahwa ruang adalah media yang bisa berkompromi dengan dirinya setiap waktu.

Karya-karya yang diusung dalam pameran Ritmis memperlihatkan bagaimana Mangku menggarap karyanya dengan sangat konsisten. Dan melalui pameran ini pula, ia sekaligus ingin menunjukkan bahwa dirinya memiliki kecakapan teknik dalam menangkap dan mengurai warna-warna sahaja yang ada di sekelilingnya.

Pameran yang bertajuk Ritmis ini kiranya dapat dilihat sebagai presentasi kekayaan batin sang perupa yang bersandar pada tatanan keindahan. Karya yang menggugah kontemplasi ini disaat bersamaan akan dipertemukan oleh suasana Sanur yang magis dan romantis. Garis dan warna karya Mangku adalah persahabatan yang tak akan lekang bersama alam. Siapapun akan merasa dekat untuk berpetualang menyelami gerak-gerak indah yang terus mengalir dan menggelora. Yudha Bantono/MB