Nusa Dua, Bali (Metrobali.com)-

Paket Bali adalah tipuan untuk rakyat kecil dan lapar di seluruh dunia. Untuk apa kemanusiaan harus memohon kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjamin hak atas pangan untuk semua? Negosiasi Paket Bali amat sangat tak masuk akal. Hak atas pangan, hak bertahan hidup bagi petani kecil tidak bisa menjadi wewenang WTO atau di lembaga mana pun. 

Di bawah WTO, negara maju menyubsidi sektor pertanian mereka dengan jumlah luar biasa. Sekitar 300 milyar dollar digelontorkan untuk subsidi petani dan perusahaan pertanian di negara maju, sementara petani kecil di negara miskin dan berkembang tak diijinkan dalam skema pertanian rejim perdagangan bebas dunia.

 “Hak atas pangan adalah hak asasi yang universal. Tirani WTO tidak bisa mengatur hak-hak fundamental ini. Pertanian tidak bisa dimasukkan dalam negosiasi perdagangan bebas, karena pangan bukan sekadar komoditas. Semua negara harus punya tanggung jawab untuk menggunakan segala cara untuk menjamin kedaulatan pangan rakyatnya,” kata Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia–juga pemimpin di La Via Campesina, gerakan petani internasional dengan anggota lebih 200 juta orang di 85 negara.

 Menurut Pablo Solon, Direktur Eksekutif lembaga think-tank Focus on the Global South, “Paket Bali menjadikan fasilitas perdagangan sebuah perjanjian yang mengikat demi pembukaan perbatasan untuk produk perusahaan besar transnasional (TNCs). Paket Bali juga membuat janji-janji kosong untuk negara miskin (LDCs) dan usulan ‘peace clause’ yang luar biasa buruk untuk pertanian. Tak ada hal yang berguna bagi rakyat di dalam Paket Bali.”

 “Tak ada yang berguna di dalam WTO untuk rakyat. Setelah 18 tahun, WTO tidak pernah mewujudkan janjinya dalam pembangunan. Sementara itu, ketimpangan terus direproduksi dan kemakmuran terkonsentrasi pada segelintir orang,” ujar Josua Mata, Sekretaris Jenderal SENTRO, aliansi buruh di Filipina. Menurut World Trade Report tahun 2013, 81 persen ekspor terkonsentrasi di lima perusahaan ekspor-impor terbesar. Jean Enriquez dari organisasi World March of Women menyatakan, “WTO telah mati suri selama 12 tahun dan negara serta masyarakat internasional harus menerima bahwa lembaga ini telah gagal dan kehilangan legitimasinya.”

 “Hari ini, WTO mencoba bangkit kembali dari kematian mereka, mengembalikan kredibilitasnya dengan Paket Bali yang mengancam masa depan kita semua,” pungkas Cindy Wiesner dari Grassroots Global Justice Alliance. Paket Bali akan melucuti hak atas kedaulatan pangan rakyat dengan membatasi kebijakan pertanian–serta mengikat tangan kita pada perjanjian fasilitas perdagangan. 

 Pangan, kehidupan dan kedaulatan kita bukanlah komoditas yang bisa dipertaruhkan, diperdagangkan serta dijual ke penawar tertinggi. WTO harus hentikan perjudian semacam ini, perjudian masa depan rakyat. Sudah saatnya kita mengakhiri WTO dan membangun ekonomi untuk kehidupan rakyat dan melindungi Ibu Pertiwi. RED-MB