Jakarta (Metrobali.com)-

Para pakar yang tergabung dalam Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI) mengusulkan revisi beberapa peraturan pemanfaatan lahan karena secara ilmiah tidak tepat diterapkan dan bisa mengakibatkan Indonesia kehilangan peluang pertumbuhan.

Hal itu terungkap pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan yang diselenggarakan HITI dan HGI bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Rabu (17/7).

Peraturan yang diusulkan untuk direvisi adalah Keputusan Presiden (Kepres) No.32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah (PP) No.150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa dan PP No.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Selain itu, Instruksi Presiden (Inpres) No.6 tahun 2013 yang mengatur tentang perpanjangan penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Ketua HITI Dr Yuswanda A Tumenggung memaparkan, peraturan-peraturan tersebut tidak sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada.

“Beberapa peraturan juga sudah usang sehingga perlu ditinjau kembali. Beberapa UU yang yang menjadi dasar peraturan tersebut pun telah direvisi,” kata dia dalam seminar yang dihadiri lebih dari 100 pakar ilmu tanah dan gambut, serta perwakilan para pihak terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan lembaga penelitian itu.

Yuswanda menjelaskan kriteria kerusakan lahan yang terdapat dalam lampiran PP No.150/2000 dan PP No.4/2001 mengabaikan prinsip-prinsip keragaman tanah yang tercermin dalam kriteria sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta tidak adanya baseline yang dapat dipakai sebagai acuan dalam implementasinya.

Akibatnya, lanjutnya, implementasi kedua PP tersebut di lapangan menimbulkan permasalahan baik dari sisi pembuat kebijakan maupun pengguna lahan.

Sementara Ketua HGI Profesor Supiandi Sabiham menjelaskan kriteria tentang pemanfaatan gambut yang dibatasi maksimum berkedalaman 3 meter seperti diatur dalamm Kepres No.32/1990.

“Tidak ada kajian ilmiah yang mendasari pembatasan tersebut,” katanya.

Dia mengungkapkan, kajian akademis dan bukti-bukti lapangan justru menunjukan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya tanaman tahunan secara berkelanjutan melalui pengaturan tata air yang baik.

“Penerapan pengelolaan ekohidro di lahan gambut untuk tanaman justru dapat mengurangi degradasi lahan gambut, meningkatkan pertumbuhan tanaman penghasil biomassa, dan mengurangi emisi gas CO2,” katanya.

Sementara itu Inpres No.6/2013 juga dinilai tidak punya dasar ilmiah yang kuat sehingga layak direvisi.

Supiandi menyatakan penerapan moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut, juga tidak didasarkan pada data inventarisasi yang benar sehingga perlu dikaji ulang.

Baik Yuswanda dan Supiandi sepakat perlu adanya kajian ulang terhadap peraturan pemanfaatan lahan melalui kajian akademik yang melibatkan lembaga yang kompeten.

APHI dukung Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna mendukung inisiatif para pakar yang mengusulkan revisi peraturan-peraturan tersebut.

“Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang sesuai ketentuan tidak akan merusak lahan atau lingkungan hidup sebaliknya, akan memberikan manfaat yang signifikan dalam mendukung dan mengembangkan perekonomian setempat maupun nasional sekaligus menciptakan peluang kerja bagi masyarakat,” ujarnya.

Dia mengingatkan, HTI adalah masa depan sektor kehutanan Indonesia karena berperan dalam mempertahankan eksistensi kawasan hutan produksi serta mencegah berkembangnya produk-produk substitusi kayu yang tidak ramah lingkungan.

Selain itu, tambahnya, HTI juga menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal dan nasional serta dapat berkontribusi positif dalam mengurangi laju emisi karbon.

Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyanto menyebut, peraturan-peraturan tersebut menahan laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di tanah air.

Dia mengingatkan, kebutuhan minyak nabati global yang terus meningkat mencapai 234 juta ton pada tahun 2020 mendatang.

“Minyak sawit berpeluang menutup kebutuhan tersebut secara efisiesn dibandingkan inyak nabati lain,” katanya.

Joko juga mengingatkan kontribusi minyak sawit yang tinggi saat ini terhadap kinerja ekspor Indonesia. Menurut dia, ekspor minyak sawit adalah faktor utama yang membuat ekspor Indonesia mengalami surplus beberapa tahun terakhir. AN-MB