prof wayan dibia

Denpasar (Metrobali.com)-

Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasr Prof Dr I Wayan Dibia menilai, sebuah karya seni pertunjukkan yang telah diberkati kekuatan “taksu” (kharisma)akan memancarkan kekuatan daya pikat, dan sebaliknya menjadi benda mati ketika tidak ada taksu di dalamnya.

“Ketika menyaksikan pertunjukan, musik atau tari, penonton di Bali pada umumnya dapat merasakan perbedaan antara pertunjukan yang metaksu dengan tanpa taksu,” kata Prof Dibia, seniman andal yang banyak menghasilkan karya-karya monumental di Denpasar, Selasa (29/7).

Sebuah sajian musik dan pertunjukan tari yang kering, kosong, dan membosankan dianggap tidak memiliki taksu.

Namun jika penonton merasakan yang sebaliknya maka kesenian tersebut bisa disebut “metaksu”.

Dibia menjelaskan, ketika pihaknya diundang untuk menggarap tari kecak di Taipei National University of The Arts (TNUA) tahun 2010 dapat menyaksikan pertunjukan teater tari di sebuah teater (Novel Hall Taipe) oleh Ikram Khan yang berjudul “Ginosis”.

Karya tari tersebut dibawakan oleh Ikram Khan dengan seorang penari wanita, menggambarkan Dewi Gendari yang menutup matanya sebagai wujud simpatinya kepada suaminya Prabu Drestarastra yang buta.

Meskipun hanya melibatkan dua sosok pemain di atas pentas, dalam pertunjukan itu Khan mampu memukau penonton dan membangun imaginasi mereka tentang kemelut di Astinapura menjelang meletusnya perang Bharata Yudha, yakni konflik internal seorang putra Kurawa di depan ibunya, Dewi Gendari.

“Hanya saja garapan seni dan pemain-pemain yang ‘metaksu’ yang mampu membangun suasana kejiwaan seperti itu, hanya sajian seni yang metaksu yang mampu membawa setiap penonton masuk ke alam peristiwa di kerajaan Astina seperti yang digambarkan dalam Epos Mahabharata,” ujar Prof Dibia.

Dalam karya seni, “taksu” bisa muncul pada benda atau karya seni, pada seniman pelaku dan pencipta, pada tempat penyajian termasuk waktu penyajian. Perpaduan ketiga hal yang “metaksu” akan menghasilkan suatu sajian seni yang berdaya pikat luar biasa.

Sebuah karya seni dengan “taksu”, semisalnya sebuah topeng, akan membantu penari yang mengubah dirinya menjadi sebuah karakter, sebuah “makhluk baru” (hamba, raja, perdana menteri), seperti yang digambarkan oleh topeng yang bersangkutan.

“Sebagai seorang penari topeng Bali, saya merasa lebih mudah untuk tampil di atas panggung dan berkomunikasi dengan penonton ketika menggunakan sebuah topeng yang sudah diberkahi kekuatan taksu,” ujar Dibia.

Ia mengaku, mengenakan topeng seperti sering kali merasa dituntun, didorong, atau “digerakkan” dan mengikuti perasaan di bawah kendali kekuatan topeng.

Dengan demikian Ceritanya akan sangat berbeda dibandingkan jika harus menari menggunakan topeng tanpa taksu, sehingga harus bekerja keras, menggunakan energi yang lebih besar, memainkan topeng untuk membuatnya terlihat hidup di atas panggung.

Dalam seni pertunjukan, seniman yang “metaksu”, sering kali “kehilangan” identitas keseharian dalam penampilannya di atas pentas. Seniman yang “mataksu”, dengan kematangan teknik, kesungguhan hati, dan spiritual, akan lebur ke dalam peran yang dibawakan, ujar Prof Dibia. AN-MB